Selasa, 15 Januari 2008

flores

Nama : Adi Damaryanto

Nim : 06413244032

Prodi : Pend Sosiologi

KEBUDAYAAN FLORES

A. Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat

Secara umum mayoritas warga masyarakat Sumba Barat hidup di daerah pedesaan. Hubungan kemasyarakatan bercorak kebersamaan dan bertumpu pada ikatan kekerabatan. Hubungan interpersonal lebih menonjol dibandingkan hubungan fungsional. Nilai kebersamaan tersebut mengandung energi sosial budaya kreatif dalam artian ada dorongan kuat untuk mewujudkan gagasan bersama demi kesejahteraan bersama yang dalam prosesnya ditempuh dengan mengembangkan dinamika persaudaraan antara para pelakunya. Hal ini tampak dalam empat aspek yang saling berkaitan, yaitu kekerabatan, kerjasama di luar keluarga dan kekerabatan, sistem kesejahteraan ketahanan masyarakat asli dan kepemimpinan lokal.

Dalam perkembangan akhir-akhir ini nampak kebersamaaan yang ideal tersebut di atas kurang berkembang sebagai sebuah dinamika kehidupan yang saling mengembangkan diri baik antar individu maupun antar kelompok. Pengalaman pembangunan selama ini memperlihatkan pemasungan prakarsa dan kreativitas individu maupun kelompok untuk berperan serta dalam pembangunan. Keputusan-keputusan pembangunan lebih banyak ditentukan oleh para pengambil keputusan di tingkat atas dan keputusan pembangunan yang menyangkut kepentingan masyarakat didominasi oleh pengambil keputusan di tingkat atas tanpa melibatkan lembaga swadaya masyarakat, lembaga keagamaan, lembaga adat dan organisasi kemasyarakatan lainnya yang mempunyai andil dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Hal ini menjadikan masyarakat tidak terlibat secara aktif dan tidak merasa memiliki karena tidak sesuai dengan aspirasi dalam kebutuhan nyata mereka. Sebagai konsekuensi lebih lanjut, kemampuan organisasi dalam masyarakat melemah sedangkan posisi organisasi formal pemerintahan desa dan kelurahan makin menonjol dengan kepemimpinan bercorak direktif.

Dari segi ekonomi, struktur ekonomi Sumba Barat berbasis pertanian dalam arti luas yang mencakup tanaman bahan makanan, perkebunan rakyat, peternakan, kehutanan dan perikanan. Hal ini menjadikan pertanian sebagai penyumbang terbesar pada PDRB Kabupaten Sumba Barat sebesar 67%. Usaha pertanian yang dilakukan terutama bercorak pertanian primer yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari (Propeda Kabupaten Sumba Barat 2001-2005).

B. Agama dan Kepercayaan Masyarakat Laboya

Di Indonesia, hingga sekarang ada beberapa agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah atau Negara Republik Indonesia. Agama-agama itu adalah Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu Budha dan Konfuchu. Selain itu diakui aliran-aliran kepercayaan sepanjang tidak bertentangan dengan Dasar Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Ditinjau dari sejarah, Agama Kristenlah yang masuk pertama di Sumba yang disebarkan oleh penginjil Belanda pertama yaitu Pendeta J.J. Van Alpheut. Dia tiba di Waingapu Sumba Timur pada tanggal 9 Juni 1881, tetapi baru 10 (sepuluh) tahun kemudian terjadi baptisan pertama seorang penduduk asli Suku Sumba. Artinya pada tahun 1891 baru penduduk asli Sumba menerima Agama Kristen. Dalam perkembangan berikutnya baru masuk agama-agama yang lainnya.

Bagi Suku Sumba, agama asli yang diyakini turun temurun adalah Agama Marapu . Agama Marapu merupakan agama yang sudah lama ada turun temurun sebelum agama-agama yang lain disebarkan di Sumba. Karena faktor keterikatan inilah, hingga sekarang Agama Marapu masih diyakini sebagian masyarakat Sumba termasuk masyarakat Lamboya.

Harun Hadiwijono dalam bukunya yang berjudul Religi Suku Murba di Indonesia, 1977 dan Cf. Kaleideskop Gereja Katolik di Sumba-Sumbawa 1889-1989 (dalam Hans J. Daeng, 2000: 117-120) menyebutkan bahwa: “Kelompok-kelompok etnik di Pulau Sumba sering dijuluki sebagai masyarakat Marapu, mereka beragama Marapu. Namun sesungguhnya Marapu di kalangan tua-tua adat belum ada kata sepakat tentangnya. Menurut Harun Hadiwijono, Marapu adalah tokoh Ilahi yang di dalamnya termasuk alam gaib, baik dalam arti dewa maupun dalam arti roh, jiwa serta barang-barang duniawi yang menjadi tanda atau simbol kehadiran Marapu dan alam gaib tadi”.

C. Gambaran Umum Adat Istiadat “Pata Tana Laboya

Adat istiadat Pata Tana Laboya tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan masyarakat. Agama Marapu merupakan cikal bakal lahirnya nilai adat istiadat yang merupakan kearifan lokal Laboya yang menjadi obyek kajian dalam tulisan ini. Oleh karena itu berikut akan diuraikan beberapa upacara ritual adat dalam rangka penyembahan terhadap Marapu yang pada perkembangan berikutnya menjadi budaya, adat istiadat, kebiasaan atau pola perilaku etik dari masyarakat Laboya turun temurun. Adapun upacara adatnya yakni sebagai berikut:

a) Wulla Mangata (Bulan Januari)

Pada bulan ini di Laboya, tumbuh dan berkembang tumbuh-tumbuhan di padang atau di alam. Hal itu terjadi karena hujan yang turun pada bulan-bulan sebelumnya. Oleh karena itu “Rato” atau tokoh adat/pemangku adat mengadakan upacara ritual di hutan. Rato Welajung dan We Yelo (pemangku adat dari kampung Welajung dan We Yelo) yang mengadakan kegiatan ritual. Kegiatan yang dilakukan adalah Rato Welajung membawa persembahan di hutan Bodo Beru untuk memuja Marapu Rami atau penguasa hutan di tempat itu yang diberi nama “Kalele” yang berada di tengah hutan. Para Rato membawa satu ekor ayam sebagai persembahan bagi penghuni hutan. Upacara adat dilakukan dengan cara ayam dipotong dan darahnya dicurahkan di atas batu pipih di Kalele yang merupakan media persembahan. Dagingnya, nasi yang sudah matang dipersembahkan juga. Selain itu, disuguhkan sirih pinang di media yang sama sebagai ungkapan silaturahmi dengan arwah atau penghuni hutan. Sirih pinang dan kapur dalam adat istiadat Laboya merupakan sarana silaturahmi dalam hubungan sosiologis yang dilakukan turun temurun hingga sekarang.

Tujuan dilakukan upacara tersebut adalah agar Marapu Rami atau penjaga hutan menjaga, melindungi dan menyuburkan hutan yang berguna bagi kebutuhan manusia, hewan dan makhluk hidup lainnya.

b) Wulla Nyale Laboya (Bulan Pebruari)

Dalam bahasa Laboya Wulla berarti bulan dan Nyale adalah sejenis Lipan Laut kecil-kecil atau ada yang menyebut Cacing Laut. Nyale ini datang bergerombol setiap tahun di pinggir laut atau pesisir pantai hanya pada setiap Bulan Pebruari. Oleh karena itu bulan itu dinamakan “Wulla Nyale” atau bulan dimana Nyale atau Cacing Laut itu datang di pinggir Laut Laemadongara yang berada di Laboya.

Tujuan diadakan upacara penyambutan Nyale dipinggir Pantai Laemadongara adalah untuk memohon berkat pada Marapu Banu (Marapu Laut/Penguasa Laut). Larangannya tidak boleh memukul gong atau pesta, tidak boleh memotong kayu di hutan, tidak boleh membuat rumah baru serta tidak boleh mencemarkan pantai dan laut. Apabila melanggar larangan ini maka akan diproses secara adat dan dikenakan denda adat Karawa Rato yang sama dengan denda pada upacara hutan yang diadakan pada Wulla Mangata. Bedanya, hanya tempat pelaksanaan denda adat tidak dilakukan di pinggir Pantai Laemadongara tetapi di pusat Kampung Adat Laboya di Sadona di hadapan Rato-Rato Moripuna atau pemangku adat utama.

c) Wulla Nyale Gaura (Bulan Maret)

Upacara adat yang dilakukan pada bulan ini, sama dengan upacara yang dilakukan pada Wulla Nyale Laboya. Perbedaannya terletak pada tempat penyambutan dan penangkapan Nyale, yaitu di tempat lain yang merupakan bagian dari kecamatan Laboya yang bernama Gaura. Selain itu Rato (pemangku adat) juga berbeda yaitu berasal dari kampung induk yang bernama Ubu Oleta.

Oleh karena upacara yang dilakukan pada prinsipnya sama, maka tujuan, larangan, dan sanksi adat yang dikenakan juga sama dengan upacara penyambutan Nyale pada Wulla Nyale Laboya.

d) Wulla Nyale Ngihu (Bulan April)

Pada bulan ini, tanaman di ladang atau kebun sudah mulai berumbi dan menghijau daunnya.

Dari deskripsi di atas, dipahami bahwa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Laboya termasuk upacara adatnya sangat erat kaitannya bahkan sangat ditentukan oleh alam yang disesuaikan dengan beredarnya waktu dan musim.

Masyarakat melakukan kegiatan atau aktivitasnya tidak terlepas dari “hasil belajar” atau karena “pelajaran” yang didapatkan dari alam. Oleh karena itu manusia dalam beraktivitas tetap memperhatikan kelangsungan ekosistem dalam konteks ekologis secara keseluruhan.

D. Eksistensi Masyarakat Adat dan Adat Istiadat Pata Tana Laboya

  1. Dalam Realitasnya di Masyarakat Laboya

Dalam deskripsi tentang agama di Indonesia dan Agama Marapu di Sumba diketahui bahwa Agama Marapu merupakan agama asli suku Sumba yang sudah ada jauh sebelum agama-agama lain masuk. Hingga sekarang masih banyak masyarakat Sumba yang beragama Marapu dan terikat dengan upacara ritual adat. Pemeluk agama yang lain di luar Marapu kalau ditinjau secara historis adalah sebagian besar sebelumnya pemeluk Agama Marapu . Bahkan sebagian besar masyarakat Sumba termasuk Laboya orang tuanya masih percaya pada Agama Marapu sementara anak-anaknya beralih pada agama-agama yang lainnya.

Kalau digambarkan dari perspektif kepercayaan dan keterikatan serta sikap masyarakat Laboya terhadap adat istiadat sekarang maka masyarakat Laboya dapat digolongkan pada beberapa kelompok :

a. Sebagian masyarakat masih percaya Marapu dengan upacara adat serta perilakunya diwarnai nilai adat istiadat.

b. Sebagian lagi beragama Kristen atau beragama lain secara formal tetapi realitasnya masih terikat dengan adat dan perilakunya diwarnai adat istiadat.

c. Sebagian lain beragama Kristen, Katolik dan lain-lainnya tidak terikat dalam upacara ritual Agama Marapu tetapi perilakunya dipengaruhi nilai adat istiadat.

d. Sebagian kecil masyarakat pendatang yang tidak mengenal adat istiadat sehingga perilakunya tidak terikat dengan adat tetapi menghargai adat dan nilai adat istiadat masyarakat Laboya.

Pada uraian No. a di atas merupakan masyarakat adat asli yang konsisten menjaga dan percaya penuh pada Marapu dengan adat istiadatnya. Kampung adat Sodana, Ubu Oleta, dan Malisu beserta Rato-Rato (pemangku adatnya) dengan seluruh upacara ritual adat yang diuraikan sebelumnya masih tetap eksis dan dihormati.

Adat istiadat Pata Tana Laboya mempunyai pengaruh, hidup dan berkembang dalam masyarakat. Keberadaannya mewarnai pola perilaku masyarakat Laboya karena mempunyai nilai yang luhur, humanis, dan ekologis.

Larangan yang lahir dari upacara adat yang sudah menjadi adat istiadat atau perilaku masyarakat Laboya antara lain tidak boleh mengadakan pesta pada bulan-bulan yang dipemalikan, tidak menangkap ikan dan biota sungai serta tidak menebang kayu di hutan pada waktu larangan berlangsung, tidak mencemarkan mata air, pantai dan laut. Hal ini mewarnai sikap masyarakat Laboya.

Senin, 07 Januari 2008

Indonesia Perlu Bangun Ingatan Kolektif

Indonesia Perlu Bangun Ingatan Kolektif

Usaha pemerintah Orde Baru untuk membangun ingatan kolektif memang dibutuhkan bagi sebuah bangsa. Hanya saja, ingatan kolektif yang terkait dengan pemberontakan G30S, seperti yang dibangun rezim Orde Baru dalam bentuk pemutaran film setiap tahun, justru melahirkan banyak dendam dan ketakutan.

"Implikasinya, ingatan kolektif yang dibangun dengan penuh dendam ini hanya akan melahirkan masalah yang lebih besar bagi penyelesaian berbagai persoalan kebangsaan," kata Katinka van Heeren dan Universitas Leiden dalam sesi Indonesian Mediations: The re-imagining and re-imaging of Community in Transition dalam "The 3rd International Conference and Workshop 2003 Indonesia in Transition" yang berlangsung di Kampus Universitas Indonesia, Depok, Rabu (27/8).

"Problem muncul melalui pengulangan film Pengkhianatan G30S PKI dan Serangan Umum setiap tahun untuk memperkuat legitimasi kekuasaan Orde Baru. Pengulangan tersebut memang bertujuan untuk memperkuat legitimasi, dan itu dilakukan dengan membangun ingatan kolektif yang pernah terjadi dalam perjalanan sejarah bangsa yang menakutkan serta masih menyimpan ketidakjelasan sejarah," ujarnya.

Ingatan kolektif seperti itu, menurut Katinka, memang mulai hancur seiring dengan reformasi yang bergulir di Indonesia mulai tahun 1997. Dan, saat ini, pemerintah sendiri belum selesai membangun ingatan kolektif baru yang dibutuhkan bagi sebuah bangsa untuk maju dan bertahan sebagai nation- state.

"Meskipun ada yang berusaha membangun ingatan kolektif baru melalui kasus Trisakti, namun prosesnya masih terus berlangsung," katanya.

Secara terpisah, sosiolog yang sekarang menjabat sebagai Manajer Program Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia, Hanneman Samuel, menilai, bangsa masih bingung dengan ingatan kolektif mana yang hendak dipertahankan. Di satu sisi ada ketakutan yang luar biasa jika peran negara menjadi sangat kuat. Di sisi lain ada juga keinginan agar negara ini kuat sehingga pemerintah bisa menjalankan fungsinya dengan baik.

Menurut Hanneman, ingatan kolektif itu seharusnya bukan barang statis. Sebagai sebuah konstruksi sosial, ingatan kolektif itu harus selalu dibangun untuk kepentingan kebangsaan dan disesuaikan dengan geopolitik nasional. Namun, bukan berarti ingatan kolektif itu dimanfaatkan untuk kepentingan legitimasi kekuasaan seperti yang dilakukan selama pemerintahan Orde Baru.

"Suka atau tidak, dalam membangun ingatan kolektif yang produktif untuk kebangsaan jangan dilakukan dengan mengabaikan begitu saja sejarah masa silam. Namun, masa silam itu bukan untuk memupuk dendam, tetapi menjadi modal rekonsiliasi bangsa," ujarnya.

Untuk melakukan rekonsiliasi bangsa, seluruh stakeholders bangsa ini harus mampu membangun komitmen kebangsaan. Komitmen ini antara lain dibuat dengan menghilangkan mental diri sebagai korban.

"Mental sebagai korban inilah yang sering kali menyulitkan usaha rekonsiliasi. Pasalnya, mereka hanya akan memupuk dendam dan keinginan untuk membalas perlakuan yang pernah diterimanya pada generasi sebelumnya," katanya.

Persoalan lain, menurut Hanneman, usaha membangun ingatan kolektif bangsa ini harus juga memperhatikan persoalan extra-state. Pasalnya, perdebatan nation-state selama ini lebih banyak terjebak pada perdebatan antara unsur state dan civil society.

"Mereka tampaknya melupakan unsur ketiga, yaitu extra- state, yang terkadang bisa bertindak seperti negara meskipun bukan negara. Mereka ini antara lain berwujud pada lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan perusahaan multinasional," ujarnya.

Saat ini, Hanneman melihat, pengaruh extra-state seperti ini juga sering mempengaruhi proses pembentukan ingatan kolektif itu. Apalagi dalam konteks negara yang sedang berkembang, mereka tampaknya justru membimbing ingatan kolektif agar mendukung kepentingan extra-state ini, bukan pada kebangsaan suatu negara. (MAM)

Ingatan Kolektif Masyarakat Bangsa

Oleh Frans Seda

MENURUT pengalaman, yang juga diakui oleh sementara ahli ilmu politik dan sosiologi, suatu masyarakat bangsa sebagai suatu komunitas politik memiliki apa yang dinamakan collective memory (ingatan kolektif). Seperti memiliki, yang sering terkait dengan itu, apa yang dinamakan collective consciousness (kesadaran nurani kolektif).

Contoh yang paling sering dibicarakan dalam rangka collective memory dan collective consciousness adalah adat istiadat suku-suku bangsa. Hukum adat tidak ada yang tertulis dan terumus secara undang-undang, tetapi ditanam/dipatrikan dalam ingatan kolektif dan diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi sebagai suatu collective consciousness. Hukumnya lebih ketat, berdisiplin dengan law enforcement yang lebih efektif daripada hukum tertulis, termasuk UUD yang dimiliki masyarakat bangsa.

Perayaan peringatan Proklamasi 17 Agustus 1945 yang dilakukan setiap tahun dapat pula dikatakan sebagai ekspresi ingatan kolektif itu.

Apa yang diingat oleh masyarakat bangsa dari Proklamasi?

Pertama, kebahagiaan menjadi suatu bangsa yang merdeka dengan kehidupan kebangsaan, suatu negara dan pemerintahan sendiri yang bebas dan berdaulat.

Seperti dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 (yang tidak boleh diubah itu, dan yang terus-menerus menghidupkan ingatan kolektif kita)… saya kutip: ... "Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang bahagia…" dan seterusnya.

Kedua, kemerdekaan dan kebahagiaan yang diperoleh adalah hasil perjuangan. Kemerdekaan, kehidupan kebangsaan, negara pemerintahan yang bebas dan berdaulat bukan hadiah dari penjajah atau dari golongan/pemimpin bangsa manapun/siapa pun, namun hasil perjuangan/perasan keringat/pengorbanan jiwa dan raga dari seluruh komponen dan jenjangan bangsa di seluruh Tanah Air. Perjuangan bersama dan dalam kebersamaan itulah yang hidup dalam ingatan kolektif bangsa ini, dalam memperingati Proklamasi 17 Agustus 1945, setiap tanggal 17 Agustus. Jika benar masa depan ditentukan oleh masa kini dan masa kini oleh masa lalu, maka ingatan kolektif itu perlu pula menentukan visi, misi, dan program kerja kita sebagai bangsa ke depan, yakni rasa bahagia perjuangan bersama seluruh bangsa.

Dan pemimpin yang mampu mengobarkan kembali ke depan kebahagiaan dan kebersamaan perjuanganlah yang layak menjadi pemimpin bangsa nanti.

ADA pula hal yang perlu diperhatikan dari perjuangan bangsa di masa lalu yang merupakan unsur ingatan kolektif bahwa yang berjuang itu adalah rakyat miskin yang pendapatannya rata-rata 50 dollar AS/tahun, dan para pengungsi yang terkumpul di Yogyakarta dan sekitarnya sehingga penjajah Belanda menjuluki para pejuang RI sebagai barisan orang miskin dan pengangguran (dan mulailah penjajah Belanda menawarkan aneka perbaikan nasib/pendapatan dan pekerjaan serta pendidikan untuk "menggembosi" RI dari dalam! Namun tidak berhasil! Mereka lupa, pejuang yang miskin, menganggur, dan perut keroncongan itu punya idealisme tinggi).

Selain kemiskinan dan pengangguran, bagi rakyat kecil suatu yang dihadapinya ialah pilihan antara merdeka atau mati. Rakyat memilih merdeka, maka gugurlah mereka di medan juang.

Apa artinya ini ke depan? Bahwa masalah kemiskinan dan pengangguran itu penting diatasi segera. Namun, ada pula pilihan-pilihan eksistensial yang dihadapi bangsa ini ke depan ialah:

Pertama, tetap satu bangsa yang utuh bersatu atau bubar! Kedua, tetap satu negara kebangsaan yang berdasar Pancasila atau bubar! Ketiga, tetap Negara Kesatuan RI yang berkedaulatan rakyat atau bubar! Keempat, tetap Pancasila sebagai dasar falsafah negara, dan ikatan moril serta esensial kita sebagai bangsa dan negara yang bersatu dan yang satu atau bubar! Inilah pilihan-pilihan kita dalam lima tahun ke depan.

Terorisme, separatisme, pertentangan-pertentangan bersenjata antargolongan masyarakat bangsa, serta situasi kondisi nasional dan internasional yang tidak menentu, mendorong kita ke pilihan-pilihan eksistensial itu!

Dikatakan, ke depan dan menghadapi pilihan-pilihan itu kita memerlukan pemimpin yang kuat! Dalam ingatan kolektif bangsa, di masa lalu kita memiliki pemimpin-pemimpin kuat seperti Bung Karno dan Jenderal (Purn) Seoharto. Pertanyaannya, mengapa kedua-duanya menjadi otokrat, otoriter, dan menjurus ke arah kediktatoran? (Bung Karno harus dikoreksi dengan Orde Baru, dan Soeharto diralat dengan Reformasi). Penyebabnya tak lain-dan ini yang hidup dalam ingatan kolektif bangsa-orang- orang kuat itu berkuasa dalam sistem politik, ekonomi, dan sosial yang lemah.

Karena itu, untuk tidak mengulangi sejarah (l’historie ne se repète pas) diperlukan suatu system building ke depan yang kuat, baik sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial, dan sistem keamanan berdasarkan kerakyatan yang adil merata!

Dalam rangka system building yang kuat dan untuk mengatasi aneka masalah ekonomi yang mendesak dikaitkan pilihan-pilihan eksistensial yang dialami bangsa ini seperti yang telah diuraikan di muka dan berdasar collective memory, maka dalam menyusun visi, misi, dan program kerja ke depan diperlukan kerangka berpikir (framework of thinking) yang sekaligus merupakan kerangka pendekatan dan penyelesaian masalah.

Pertama, masalah pengangguran, kemiskinan, dan ekonomi mikro amat tergantung pada penyelesaian-penyelesaian masalah-masalah ekonomi makro seperti masalah stabilitas ekonomi makro. Sebaliknya masalah stabilitas ekonomi makro sendiri pada gilirannya hanya dapat berkelanjutan jika masalah-masalah kemiskinan, pengangguran, dan ekonomi mikro diselesaikan.

Kedua, jika dikaitkan dengan pilihan-pilihan eksistensial itu, maka perlu dipahami bahwa masalah-masalah ekonomi (makro, mikro, pengangguran, dan kemiskinan) amat terkait dan tergantung pada penyelesaian masalah-masalah non-ekonomi. Sebaliknya, masalah-masalah non-ekonomi (seperti diuraikan dalam pilihan-pilihan eksistensial itu) hanya dapat diatasi secara berkelanjutan jika masalah-masalah ekonomi juga dapat diselesaikan.

KEMERDEKAAN kita adalah hasil suatu perjuangan berdarah: yang telah menghasilkan tulang-belulang yang berserakan, bukan saja antara Jakarta dan Bekasi tetapi juga antara pulau-pulau di seluruh Nusantara. Siasat perjuangan kemerdekaan kita antara lain adalah Bumi Hangus. Dan kita telah membumihanguskan semua sistem (administrasi, penyelenggaraan pemerintahan, dan disiplin) yang diwariskan Belanda, dan menganggap kita sanggup menciptakan sistem kebangsaan sendiri. Ternyata setelah 59 tahun merdeka kita belum menemukan suatu sistem yang baku dalam mengatur kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang bebas dan berdasar kedaulatan rakyat.

Dalam hal "bumi hangus" kita berbeda dengan negara-negara bekas jajahan Inggris. Mereka mendapat kemerdekaan tanpa perang dan memelihara sistem Inggris seutuhnya. Karena itu di sana-sini krisis ekonomi dapat di-contain (juga di Thailand dan Korea Selatan, di mana sistem politik, ekonomi, dan sosial telah terkendalikan dan dihayati rakyatnya). Di Indonesia, karena tidak/belum ada sistem, maka krisis ekonomi merambat ke mana-mana menjadi krisis multidimensi.

Ada yang mengatakan, yang kita perlukan ke depan adalah perubahan. Perubahan tanpa sistem adalah coba-coba. Salah satu penyebab kemiskinan dan pengangguran dewasa ini adalah karena kita terus mencoba-coba dan menganggap coba-coba itu sebagai perubahan dan pembaruan.

Perlu diperhatikan aneka pengalaman hidup tentang perubahan/pembaruan dan perbaikan. Tidak semua perubahan/pembaruan membawa perbaikan. Tidak semua perbaikan memerlukan perubahan/pembaruan.

Yang pertama merujuk pada pengalaman silih bergantinya aneka kebijakan pemerintah/para menteri. Secara subyektif perubahan/pembaruan kebijakan-kebijakan itu dimaksudkan demi perbaikan! Tetapi nyatanya, membingungkan dan membuat aneka kebijakan pemerintah unpredictable bagi dunia usaha (antara lain karena perubahan/perbaikan yang dimaksudkan tidak didasarkan pada system thinking dan system building).

Yang kedua: tidak semua perbaikan memerlukan perubahan. Ini merujuk pada hal, Indonesia pandai dalam merumuskan kebijakan-kebijakan nothing wrong with policies, tetapi implementasinya amburadul dan lemah. Dalam hal ini diperlukan perbaikan (dari implementasi) tanpa perubahan (dari kebijakan).

Kita harus hati-hati terhadap ingatan kolektif sebagai masyarakat bangsa.

Selamat 17 Agustus 2004!

Jalannya Upacara Kematian Raja-Raja Kraton Yogyakarta


Jalannya Upacara Kematian Raja-Raja Kraton Yogyakarta


Untuk kraton Yogyakarta menutut tradisi mataram : kematian tidak dtangisi, dan imogiri

Bukan merupakan makam namun dinamakan atau suwargi orang jawa menyebutya penghuni surga. Upacara pelepasan jenazah maksudnya memperingati kepergian yang akbar seperti dalam upacara pengatin. Dalam masayrakat jawa yang namanya lahir, pegat dan mati merupakan sesuatu yang sacral, maka selalu diperingati dengan seindah-indahnya. Khusus acara kematian di dalam kraton berlaku 5 jenis gatra ritual yaitu :

  1. Tata cara majapahit atau pra-islam

  2. Tata cara demak pajang

  3. Tata cara perwalian atau wali Allah di jawa

  4. Tata cara kalang sepuh

  5. Tata cara mataram selingkar keturunannya.

Tata cara majapahit menyangkut sesaji yang ditujukan pada orang yang sakit sampai merawat jenazah sebelum dikubur. Hanya pada tata cara perawatan jenazah diberi balsem dan ditunggu samapi 100 atau 1000 hari. Jiak utuh dan awet, mayat itu dibusanani dengan busana kerajaan. Namun jika rusak, maka jenazah itu dikafani. Uborampe atau sesaji orang yang sakit sampai perawatan jenazah manganut upacara kuno dengan memanggil dukun , pini sepuh dan ulam untuk tahlilan sebelum dibacakan matra-mantra.

Tata cara demak atau pajang menurut tata cara dipini dalam melakukan perwatan jenazah dengan tata cara keislaman mulai dari mensholatkan samapi penguburan jenazah di lingkungan kerajaan islam di jawa.

Tata cara perwalian atau wali allah berbeda dengan tata cara di saat sunan giri, sunan, bonang, sunan kudus, dan sunan kalijaga. Di masa ini mengguanakan tata cara rakit dalam model tarekat syah abdul kadir, jailani, Nasabariyah, Nasabandiyah dan Safi’iyah.Sunan kalijaga tidak mengenal tahlilan akan tetapi disebut ageman yaitu dikuburan jenazah atau pesan-pesan almarhum digubah.

Tata cara mataram adalah membentuk peubahan baru dan tradisi kuno Pra-Islam dalam aroma kultur jawa. pembusanaan jenazah raja dan putra dengan busana kebesaran.

Dalam tata cara mataram upacara perawatan jenazah dipimpin oleh raja atau pangeran tertua atas nama raja. Juga uborampenya menyesuaikan bentuk yang ada. Di dalam pranata jiwa kalau si sakit cukup lama atau tidak ada harapan untuk sembuh si sakit dibawa ke imogiri diruang pajimatan yang kemungkinan akan meninggal. Orang yang merawat adalah ulama atas nama raja. Selama raja berkuasa tidak boleh mengunjungi ke imogiri.

Pelaksanaan upacara kematian ini terdapat berbagai perlengkapan kegiatan yang dalam garis besarnya :

  1. Perawatan jenazah (uborampe panguptining layon)

  2. Pemakaman jenazah (uborampe panguburing layon)

Perawatan jenazah dimulai semenjak seseorang benar-benar meninggal dunia. Kerabat dan orang lain yang kebetulan menyaksikan saat meninggalnya segera mengatur posisi tubuh mayat, (menyilangkan tangan jenazah ke dadah, tangan kanan diletakkan diatas tangan kiri, kelopak mata dirapatkan, dagu ditekan agar mulut terkatup, kedua kaki diluruskan sejajar serta dihadapkan ke arah kiblat. Dibujurkan ke utara (mujur ngalor) menyerong ke barat sedikit (ngulon sithik) ditutup rapat (diluruskan dengan kaki (jarik), serta dipasang sebuah pelita dan tempat pembakaran kemenyan dekat pembaringan hal ini dilakukan agar tidak terlanjur kaku. Saatnya untuk dimandikan , anak saudara menunggu agar tidak ada ganguan sementara itu kegiatan lainnya mulai dilaksanakan, misalnya menyebar berita duka, penggalian kubur, perlengkapan memandikan jenazah dan lain-lainnya. Mengenai lokasi penggalian tergantung pada saat meninggalnya sedang mengenai lokasi penggalian liang lahat biasanya tidak disebelah atas (utara/ makam yang lebih tua atau leluhur. Bila pantangan in dilanggar akan menimbulkan hal-hal yang kurang baik terutama si roh mati.

Uborampe yang berhubungan dengan upacara misalnya bangsal sri manganti digunakan untuk membaringkan jenazah dan didekatnya dihidupkan alatar, blencong, air kembang seramah, hiding-hidangan yang merupakan kombinasi dari sumber-sumber khasanah flora dan fauna jawa yang berbentuk bahan pajangan dan bahan pangan.

Selama disemayamkan dibunyikan gending mutur yaitu gending-gending yang mengambarakan tangisan hati dan menggunakan gamelan menggang.

  1. Upacara memadikan jenazah

Bagi golongan bangsawan , tradisi mengenai perawatan jenazah mulai dari meninggal, memandikan, membungkus, menyembahyangkan hingga pemakamannya mempunyai kekhususan tersendiri. Antara jenazah seoarang raja dalam menyemanyakan dengan jenazah putra mahkota, permaisuri, permasuri putera raja, selir-selir dan pelara-pelara. Untuk raja disemanyamkan di bangsal prabasuyata sebelum dimandikan. Perbedaan perawatan dengan selain raja adalah :

Apabila yang meninggal seseoarang permaisuri atau putra mahkota, maka upacara memandikan dari menghias jenazah dilakukan di tratan (serambi) prabasuyata, sesudah selesai jenazah disemayamkan di bangsal seperti halnya seorang raja. Sedangkan untuk para selir ( pelara-pelara) dan putera yang belum kawin, upacara siraman dan mbu sanani dilakukan di bangsal pengapit, lanjutnya jenazah disemayamkan dibangsal manis hingga pada saat pemberakatan pemakamannya. Bagi seseorang yang meninggal sebelum kawin ada syarat tamabahan yang harus dilengkapi yaitu batang pohon pisang dan gagar mayang yang dibuang di peremapatan jalan.


Bila seseorang raja mangkat (surut dalem) karena usia lanjut bukan karena penyakit, jenazah dipangku oleh anak dan cucu laki-laki, bila yang mangkat permaisuri, maka anak dan cucu puterilah yang memangku.

Tempat untuk menyirami bisanya ditutupi dengan kain putih sekelilingnya atau kain biasa yang baik, sedang penutup bagian atas digunakan kampuh atau kain panjang. Bila yang meninggal seorang raja maka upacara nitaman dipimpin putera tertua yang hendak menggantiakan kedudukannya. Perlengkapan sirangan ini meliputi :

  1. Air tawar (air sumur bersih) ditempatkan dalam tempayan

  2. Air landha merang untuk keramas (cuci rambut)

  3. Air asam (air tawar dicampur asam lumat) juga untuk keramas.

  4. Air asin (air tawar campur garam)

  5. Air wangi (air tawar dicampur wewangian atau minyak cendana)

  6. Merang (tangkai padi kering yang telah diptong-potng) untuk membersihakn kuku.

  7. Kain putih untuk penutup.1

Agar benar-benar bersih tubuh jenazah boleh dimiringkan kekanan atau kekiri. Menjelang selesai siraman, jenazah didudukan untuk disiram tiga kali dari arah kepala.

  1. Upacara membungkus jenazah

Setelah jenazah dimandikan dengan sempurna kemudian diangkat ketempat yang telah ditentukan dan disitulah jenazah pada hakekatnya sama dengan rakyat biasa, hanya saja bahan-bahan yang digunakan biasanya lebih unggul.mengenai jumlah kain kafan harus ganjil, rangkap tiga, lima, atau tujuh. Kemudian kapas-kapas yang diberi minyak cendana untuk menutup bagian badan yang lemah dan lekas membusuk2 .

Sementara itu peti jenazah telah disiapkan yang antara lain diberi alas tikar, bantal dengan kain yang sama atau putih berisikan daun kemuning dan daun pandan ( memliki khasiat atau menghilangkan bau busuk). Setelah itu jenazah yang telah selesai pembukusannya, dimasukan dalam peti dengan posisi agak miring kekanan atau arah kiblat ditopang dengan tujuh bulatan tanah atau gulu, sebelum ditutup pelayat diberi kesempatan untuk melihat dan mendoakan , tetapi berurutan. Setalah peti ditutup, lalu diletekakan diatas balai-balai membujur ke arah utara. Rangkaian perhiasan berupa bunga-bunga ini dibenahi , dimaksudkan selain menghormati si mati juga untuk menghilangkan bau busuk.

  1. Menyembahyangkan jenazah.

Penyembahyangkan jenazah di tiga tempat yaitu :

  1. Masjid di panepen untuk Menyembahyangkan jenazah raja yang dilakukan oleh para putera-puteri dan cucu raja dipimpin oleh ulama.

  2. Pembacaan doa-doa dimasjid yang dipimpin oleh kyai penghulu.

  3. Upacara dimakam yang dilakukan oleh pengageng juru kunci.

Demikan halnya dalam menshlotkan jenazah di kalangan bangsawan sama sebagaimana Menyembahyangkan jenazah pada umumnya. Khusus untuk bangsawan, upacara ini dilaksanakan oleh abdi dalem kraton suronoto, dipimpin oleh kyai penghulu kraton atau pengulan. Smentara itu ada petugas yang memasang perdupaan didekat kaki jenazah dan secara bergantian istri , anak-anak serta kerabat dekat memasukan kemenyan atau ratus-ratus ke dalam perdupaan tersebut agar terus mengeluarakan asap harum.

  1. Upacara pemakaman

Uborampe yang berhubungan dengan upacara pemberangkatan jenazah diantaranya yaitu kentongan masjid, kendi yang yang terbuat dari tanah, sapu lidi, beras kuning, dan uang recehan serta kembang setaman. Sedangkan upacara bubak dalan yaitu pemukulan kentongan, penyebaran beras kuning, air kendi dijalankan oleh paro kyai atau perempuan uzur atau perempuan yang sudah melewati masa menstruasi. Semua ini untuk mengawali pemberangkatan ke Imogiri (perlengkapan yang bersifat cucuking lampah).

Komposisi dan konfigurasi peserta upacara.

  1. Bila raja meninggal dunia maka pimpinan upacara berada di tangan pepatia dalem danurejo sebagai perdana mentri kesultanan atau wasir yang mengepalai sekuruh unit pemakam sampai seratus harinya. Sesepuh atau pimpinan upacara tidak mengikuti ke makam. Untuk undangan raja atau bangsawan menjadi tanggung jawab residen Belanda di Jawa.

  2. Apabila permaisuri, putra mahkota atau adipati anom meninggal dunia maka sultan menunjuk tim khusus untuk menyelenggarakan upacara pelepasan jemazah.

Dalam upacara pelepasan jenazah raja tidak ada master seremoni atau protocol Cuma yang biasa dilakukan pengaturan secara lisan. Kemudian dalam upacara pemberangkatan dan tuguran ( berjaga semalam suntuk) dipimpin oleh penghulu agung kerajaan yang didampingi oleh suranata, putihan dan abdi dalem pemetaan serta sepenuhnya dibantu oleh abdi dalem petilasan atau pengulon. Sementara perabot dan penghulu dibagi menjadi lima bagian yaitu :

  1. Penasehat ritual keagamaan menjadi tugas penghulu agung

  2. Penghulu masjid kraton yang berada di mlangi (masjid keratin atau patok negoro)

  3. Penghulu kraton yang berada di ploso.

  4. Penghulu masjid kraton yang berada di wonokromo

Seluruh koordinasi masjid local dan regional mendapat pembiyaan dari kraton. Sedangkan penghulu bertanggungjawab pada masing-masing masjid dan juga bertanggungjawab kepada sultan. Perlekapan atau property pemakaman jenazah biasanya menggunakan kereta kerajaan atau kereta jenazah yang biasa digunakan oleh para raja di kawasan setempat.

Kalangan bangsawan kraton Yogyakarta mempunyai tiga tempat pemakaman yaitu : makam Imogiri Bantul, makam Hastorenggo dan Girigondo di kotagede. Khusus untuk pemakaman raja tau sultan ditempatkan di Imogiri. Upacara pemakaman bagi kalangan bangsawan memang berbeda dengan upacara pemakaman rakyat biasa tetapi inti upacaranya sama, misalnya dalam hal upacara Mbrobosan, cara menurunkan peti jenazah posisi dalam liang lahat dan pembacaan doa bagi jenazah. Apabila yang mengangkat raja atau sultan, menjelang pemakaman para anggota keluarga dan segenap punggawa abdi dalem berkumpul ditempat-tempat yang tidak sama. Para putra putri berkumpul di dalam (istilah ruang dalam). Prajurit pesisiran yaitu pegawai kraton, pegawai kesultanan berkumpul di pintu gerbang pintu mlati. Sedang para abdi dalem ponakawan dan perintah luhur berada di halaman kraton. Selanjutnya abdi dalem lainnya yaitu abdi dalem penghulu siap di bangsal Sri manganti. Abdi dalem jawi berada di bangsal ponconiti. Setelah tiba saatnya diberangkatkan, biasanya antara jam 10.00 WIB, jenazah segera diangkat keluar istana lewat gerbang istana. Peti diangkat oleh putra putri, cucu, dan para sentana (sanak keluarga) dengan bantuan para prajurit. Sebelum keluar dari pintu gerbang selatan sejenak dihalaman kraton, diadakan sumurup (Brobosan).

Peti dibujurkan ke arah timur, selanjutnya putra putri dan cucu-cucu mengusun dibawah peti tiga kali. Upacara in memberi pengertian kepada putra-putri, cucu-cucu yang ditinggal pada akhirnya akan dipanggil tuhan juga. Sesudah selesai, jenazah dipikul dan dipanyungi menuju kereta atau mobil. Payung dihiasi dengan bunga melati atau hiasan lainnya. Demikian juga kereta, dihiasi dengan untaian melati ata rance. Kereta jenazah yang biasanya ditarik dengan delapan ekor kuda dan melewati kawasan pedesaan, sedangakan jika melewati perbukitan maka yang pernah dulu dilaksanakan kereta itu ditarik dengan lembu atau kerbau. Misalnya sewaktu meninggal Sri Paku Alam V di Girigondo sedang pengiring pakai kuda tunggang. Ratanan laku atau petunjuk-petunjuk umumnya telah ada dalam buku yang ingin memberikan penghormatan permaisuri atau keturunannya. Hal- hal lain yang berhubungan dengan upacara adalah jika raja atau putra masih bersatus jejaka atau perawan berada di depan iring-iringan jenazah dibawa dua geligir gagar mayang sebagai penghormatan terhadap bangsawan yang berstatus perjaka atau perawan tersebut. Sanak keluarga si mati kebanyakan mengenakan pakaian warna hitam namun ada juga yang mengenakan pakaian warna ungu seringkali pelayat diberi selawat atau uang yang dibungkus dengan kain putih sebaliknya uang tadi dipergunakan untuk membeli korek api atau minyak tanak. Demikan menurut kepercayaannya selama dalam perjalanan disebarkan sawur (berisi beras kuning yaitu beras dicampur kunir dan kembang telon, mawar melati dan kenanga, kemudian uang dan lintingan sirih). Sawur ini disebar terutama dipertigaan atau perempatan jalan yang dilalui masayarakat yang kebetulan bertemu dengan iring-iringan jenazah. Iringan-iringan ini biasanya berhenti atau turun dari kendaraannya sampai iring-irngan berlalu, topi, payung dan penutup kepala lainya akan mereka tanggalkan sebagai penghormatan. Namun ada pula pedagang yang melemparkan uang mereka dengan harapan usaha mereka berhasil dan sebagainya.

Sesampainya di pemakaman, pengurusan selanjutnya ditangani abdi dalem juru kunci. Upacara ini diawali dengan pemberian penghormatan kepada jenazah oleh para sanak keluarga maupun abdi dalem dengan cara berbaris di kanan-kiri jalan yang akan dilalui jenazah. Sebelum memasuki makam Imogiri diistirahkan untuk sementara di paseban. Biasanya penghulu membacakan doa. Petugas formal untuk mengkebumikan jenazah raja adalah pepatih dalem yang pelaksanaan teknisnya samapi 8 orang bertugas mengerek peti, yang biasanya dibantu 2 orang dimulut liang lahat, kedalam liang lahat seyogyanya sededeg-pengawe atau setinggi orang yang berdiri sambil mengacungkan tangannya. Setelah ada peletakkan peti, petugas adzan dilanjutkan dengan Iqomah dan membacakan takqin. Selanjutnya cepuri atau karas (bagian dari liang kubur) Ditutup dengan papan atau batu, untuk kemudian mulai ditimbun dengan tanah. Para pengiring jenazah terutama kerabat dekat yaitu dengan melemparkan masing-masing dengan 3 gengam tanah ke liang kubur. Orang yang pertama kali melempar tanah mengucapkan “siro kabeh pada ingsun dedeake saka ing lemah” (Atau kamu semua kami jadikan dari tanah). Pelempar kedua mengucapkan “lan siro kabeh ingsun balake dadi lemah (dan kamu semua kembali menjadi tanah)”. Pelempar ketiga mengatakan “siro kabeh bakal insun wetoke soko ing lemah (kamu semua akan dikeluarkan dari tanah).


  • selamatan sesudah pemakaman


Dalam upacara kematian yang masih dilaksankan dikalangan bangsawan khususnya upacara-upacara sesudah pemakaman biasanya disebut selametan atau wilujengan yang maksudnya untuk keselametan baik untuk roh si mati supaya diterima di akhirat nanti, maupun untuk keluarga yang ditinggalkannya.

ada beberapa perbedaan antara selametan antara kaum bangsawan dengan rakyat biasa yang sesungguhnya tidak prinsip. seperti dalam masyarakat biasa, wadah atau tempat makanan yang digunakan adalah berasal dari daun pisang atau takir pisang, sementara pada kaum bangsawan menggunakan kertas atau kain putih, sehingga tampak lagi bahwa lebih mewah dalam menghidangkan makanan dan sesajian. ada dua macam disini yaitu sesajen wilujengan untuk dihidangkan hadirin dan sajen untuk sir oh mati.

Rangkain upacara-upacara ini umumnya meliputi :

  1. soartanah (pada hari yang sama dengan pemakaman)

  2. Nelung dino (tiga hari dari meninggalnya)

  3. Pitung dino (tujuh hari dari meninggalnya)

  4. Matang puluh dino (empat puluh hari dari meninggalnya)

  5. Nyatusdino (seratus hari dari meninggalnya)

  6. Mendak pisan ( 1 tahun dari meninggalnya)

  7. Mendak pindho (2 tahun dari meninggalnya)

  8. Nyewu dino ( seribu hari dari meninggalnya)

ketetapan waktu penyelenggaraan upacara selametan selalu diperhitungkan dengan amat teliti, terutama didasarkan pada hari, pasaran, bulan, dan tahun. menurut perhitungan jawa.Dari soartanah sampai mitung dino masih mudah menghitungnya tetapi mulai matang puluh dino atau empat puluh harinya hingga selanjutnya memerlukan perhitungan khusus, menurut kepercayaan mereka apabila tidak tepat, maka tujuan yang ingin dapat dicapai dengan penyelenggaraan upacara selametan tersebut tidak tidak memnuhi harapan. adapun perincian upacara selametan tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Soartanah maksudnya menggusur tanag yaitu tanah yang dipakai untuk memakamkan jenazah. maknanya dengan selametan ini agar arwah atau roh si mati mendapat jalan yang terang dan tempat yang lapang. materi yang disajikan : tumpeng yaitu nasi dibentuk kerucut asahan diatas rempah lengkap dengan lauk pauk jangan adem atau sayur adem. pecel dengan sayatan daging ayam goreng atau panggang, sambel dongseng dengan kedelai yang terkelupas. jangan menir kerupuk dan rempeyek. satu hal yang penting dalam hal ini adalah tumpeng yang harus dibelah dua dan ditaruh dalam posisi bertolak belakang terkenal dengan saburan tumpeng pengkur atau ungkur-ungkuran.hal ini sebagai lambang anatra si mati dengan keluarga yang ditinggalkan. juga agar kedua belah pihak mendapat keselamatan. pelaksanaan soartanah ini adalah setelah pemakaman. boleh siang atau malam hari. pimpinan upacara dalam hal ini adalah mudin selaku pimpinan dan pemabawa doa, selain menerima bagian berkat juga menerima uang wajib sekadarnya. sedang sesajian untuk si roh mati berupa nasi sepiring utuh atau sayo sak kenong, dua bulatan nasi golong, kembang setaman, dupa atau kemenyan, ubur merhah putih dan lampu seatir ditemaptkan di dalam rumah tertentu.3

  2. nelung dino atau tiga hari

pelaksanaan di siang hari yang dihadiri tetangga dan ahli waris. materi yang dihidangkan yaitu : takir pontang yang berisi nasi kuning atau sego punar dan nasi putihdengan lauk pauk daging srundeng gambingan, kecambah, kacang pangjang, yang telah di potong-potong, irisan brambah dan irisan apem. semuanya di taruh di sudi (dari daun pisang) selain itu juga nasi asahan dengan lauk pauk daging goreng, jangan menir, dan sambal santan.

  1. pitung dino menujukkan dilaksanakan berselang tujuh hari setelah pemakaman Cuma waktu siang hari dan dihadiri oleh kerabat dan tetangga, materi yang dihidangakan berupa apem, ketan dan kolak dalam takir serta nasi asahan dengan lauk pauk daging goreng, pindang, jerohan dan krupuk. sedang maksud dan tujuan masih sama dengan telung dino. begitu pula sesaji untuk oh si mati.

  2. matang puluh dino dilaksanakan 40 hari sesudah pemakaman, boleh siang, sore namun biasannya pada malam hari dan diundang para santri, materi yang disajikan sama dengan pitung dino.

  3. nyatus dino. rangkain upacara selametan hampir sama dengan rangkain upacara selametan matang puluh dino.

  4. mendak pisan. yaitu setiap satu tahun upacara. materi hidangan maupun ujub sama dengan matangpuluh dino.

  5. mendak pindho. setiap 2 tahun semua rangkain upacara selametan juga sama dengan matang puluh dino.

  6. nyewu dino pada umumnya upacara ini merupakan upacara terakhir yang wajib dilaksanakan dalam rangkain upacara selametan yang keseribu setelah kematian. penyelenggaran lebih besar dari upacara selametan sebelumnya. sedang mengenai materi hidangan tetap sama seperti rangkain upacara selametan sebelumnya. dengan tambah daging kambing yang disembelih sendiri. sebelum disembelih kambing dimandikan dengan air kembang setaman dan rambutnya dikeramas dengan air lada, dan tubuhnya diselimuti dengan kain putih di kalungi dengan untaian bunga dan diberi makam daun sirih makanannya. makna yang sudah ditangkap mereka adalah sebagi pikiran kendaraan orang yang meninggal. perlengkapan yang harus disediakan pada upacara selametan ini yaitu : tikar pandan, kaca kecil, kapas, kemenyan, dua sisir pisang raja, gula kelapa, sebutir kelapa satu takir beras, buanga dan boreh. perlengkapan ini semua ditaruh dalam wadah dan disajikan di tempat kenduri yang nantinya menjadi baguian para santri kecuali para santri itu menerima berkat. isi ujub dan uborampe lain tetap sama dengan ketika matang puluh dino.


1

2

3

PERANAN SOSIOLOGI TERHADAP SOSIOLOGI KOMUNIKASI

PERANAN SOSIOLOGI TERHADAP SOSIOLOGI KOMUNIKASI
  1. Sosiologi Pengetahuan dan Konstruksi Sosial

Sosiologi pengetahuan, dalam pemikiran Berger dan Luckman (1966/1990), memahami dunia kehidupan (lebenswelt/life world) selalu dalam proses dialektis, antara the self (individu) dan dunia sosio kultural. Proses dialektis itu mencakup tiga momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk manusia), objektivasi ( interaksi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasi dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya).

Fase eksternalisasi dan objektivasi merupakan pembentukan masyarakat yang disebut sebagai sosialisasi primer, yaitu saat dimana seseorang berusaha mendapatkan dan membangun tempatnya dalam masyarakat. Kedua fase ini membuat orang memandang masyarakat sebagai realitas objektif, disebut juga man in society. Tahap internalisasi, yang lebih lanjut agar pranata itu dapat dipertahankan dan dilanjutkan, haruslah ada pembenaran terhadap pranata tersebut, tetapi pembenaran itu dibuat juga oleh manusia sendiri melalui proses legitimasi yang disebut objektivasi sekunder. Pranata sosial merupakan hal yang objektif, independen dan tak tertolak yang dimiliki oleh individu secara subjektif. Ketiga momen dialektis itu mengandung feneomen-fenomen sosial yang yang saling bersintesa dan memunculkan suatu konstruksi kenyataan sosial, yang dilihat dari asal mulanya merupakan hasil ciptaan manusia, buatan interaksi subjektif.

Kenyataan sosial objektif yang terlihat dalam hubungan individu dengan lembaga-lembaga sosial dilandasi oleh aturan-aturan atau hukum merupakan produk manusia itu sendiri, bukan merupakan hakekat dari lembaga-lembaga itu. Ciri coersive yang menyertai struktur sosial yang objektif merupakan suatu perkembangan aktivitas manusia dalam proses eksternalisasi atau interaksi manusia dengan struktur-struktur sosial yang sudah ada. Kenyataannya aturan sosial tersebut akan terus berhadapan dengan proses eksternalisasi. Perubahan sosial dan strukturnya akan sangat tergantung bagaimana eksternalisasi berlangsung. Perubahan sosial akan terjadi bila eksternalisasi ternyata membongkar tatanan yang sudah terbentuk. Sedangkan dalam masyarakat stabil proses eksternalisasi individu-individu akan mengidentifikasi dirinya ke dalam peranan-peranan yang sudah mapan. Peranan menjadi unit dasar dasar dari aturan-aturan yang terlembaga secara objektif. Struktur objektif masyarakat tidak menjadi produk akhir dari suatu interaksi sosial, karena struktur berada dalam suatu proses objektivasi menuju suatu bentuk baru internalisasi yang akan melahirkan suatu proses proses eksternalisasi baru.

Struktur kesadaran subjektif individu dalam sosiologi pengetahuan menempati posisi yang sama dalam memberikan penjelasan kenyataan sosial. Setiap individu menyerap bentuk tafsiran tentang kenyataan sosial secara terbatas, sebagai cermin dari dunia objektif. Dalam proses internalisasi, tiap individu bebeda-beda dalam dimensi penyerapan, ada yang lebih menyerap aspek ekstern, ada juga yang ebih menyerap bagian intern. Tidak setiap individu dapat menjaga keseimbangan dalam penyerapan dimensi objektif dan dimensi subjektif kenyataan sosial itu. Kenyataan yang diterima individu dari lembaga sosial, menurut Berger, membutuhkan cara penjelasan dan pembenaran atas kekuasaan yang sedang dipegang dan dipraktekkan.

Pelembagaan pandangan atau pengetahuan oleh masyarakat itu akhirnya memperoleh generalitas yang paling tinggi, dimana dibangun suatu dunia arti simbolik yang universal, yang kemudian disebut sebagai pandangan hidup atau ideologi. Pandangan hidup yang diterima umum itu dibentuk untuk menata dan memberi legitimasi pada konstruksi sosial yang sudah ada serta memberikan makna pada pelbagai bidang pengalaman mereka sehari-hari. Legitimasi di sini adalah proses penjelasan (unsur kognitif) dan pembenaran (unsur normatif) dari suatu interaksi antara individu.

Dengan memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan dan masalah legitimasi maka kenyataan sosial itu merupakan suatu konstruksi sosial buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam, ke masa kini dan menuju masa depan. Konstruksi sosial itu sendiri pada gilirannya berkarakter plural, relatif, dan dinamis. Dalam arti, bahwa lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat memiliki kehendak dalam membangun realitas sosial, dan setiap kehendak tersebut harus berhadapan satu sama lain dan berusaha saling mendominasi. Masyarakat dalam dunia kehidupan mereka selalu terlibat dalam usaha dominasi, oleh sebab itu pertikaian diantara kelompok-kelompok sosial sering muncul.

  1. Konflik Agama Dalam Konstruksi Sosial

Konflik adalah fenomena sosial dan ia merupakan kenyataan bagi masyarakat yang terlibat di dalamnya. Artinya masyarakat menyadari dan merasakan bahwa konflik itu muncul dalam dalam dunia sehari-hari. Konfllik juga sebagai suatu proses sosial, proses perubahan dari tatanan sosial yang lama ke tatanan sosial yang berbeda. Konflik antar komunitas dalam masyarakat difenisikan sebagai suatu kondisi wajar tetapi bila sudah melibatkan kekerasan kewajaran konflik menjadi tidak lagi. Konflik bersifat inheren dalam kesadaran masyarakat sehingga selalu ada gambaran yang nyata tentang fenomena tersebut. Bahkan masyarakat menyimpan pengalaman tentang konflik sebagai pengetahuan dan realitas sosial mereka.

Mengikuti sosiologi Pengetahuan yang dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Luckmann bahwa realitas sosial berupa pengetahuan yang bersifat keseharian seperti konsep, kesadaran umum dan wacana publik merupakan hasil konstruksi sosial. Kenyataan itu sendiri bersifat plural, dinamis dan dialektis. Demikian juga pengetahuan konflik agama. Dalam perspektif konstruksi sosial, pengetahuan konflik agama sebagai realitas, tidak pernah merupakan realitas tunggal yang bersifat statis dan final, melainkan merupakan realitas plural yang bersifat dinamis dan dialektis. Kenyataan bersifat plural karena adanya relativitas sosial dari apa yang disebut ‘pengetahuan’ dan ‘kenyataan’.

Diilustrasikan oleh Berger dan Luckman (1990) apa yang nyata bagi seorang biarawan Tibet mungkin saja tidak ‘nyata’ bagi seorang pengusaha Amerika; ‘pengetahuan’ seorang penjahat berbeda dengan ‘pengetahuan’ ahli kriminologi.

Pengetahuan konflik agama sebagai hasil dari konstruksi sosial pun bersifat plural, mengikuti pluralitas konstruksi yang dibuat oleh kelompok-kelompok sosial. Setiap kelompok sosial memiliki referensi nilai-nilai dan preferensi kepentingan yang berbeda-beda, dan perbedaan ini membawa konsekuensi terhadap konflik sosial antara komunitas agama dalam dunia kenyataan. Selain plural, konflik agama juga bersifat dinamis. Realitas pengetahuan konflik agama sebagai konstruksi sosial bersifat dinamis karena sesungguhnya selalu berada dalam dialektika sosial. Dalam level individual. dialektika berlangsung dalam faktisitas objektif dan makna subjektif konflik agama bagi individu. Sementara dalam level sosial, pluralitas konstruksi terhadap pengetahuan konflik agama mengalami dialektika pula.

Sebagai konstruksi sosial, pengetahuan konflik agama merupakan sekaligus realitas objektif dan realitas subjektif. Sebagai realitas objektif pengetahuan konflik agama merupakan faktisitas objektif yang bersifat eksternal dan koersif. Sebagai realitas objektif, pengetahuan konflik agama misalnya meliputi seperangkat doktrin yang sudah terumuskan secara permanen, rumusan-rumusan operasional lainnya, serta praktek implementasi konflik agama itu sendiri. Hal dapat diperlihatkan dengan adanya gerakan-gerakan sosial yang bersifat politis dalam masyrakat.

Sedangkan pengetahuan konflik agama sebagai realitas subjektif berarti menyangkut makna, interpretasi, dan relasi subjektif individu terhadap konflik agama. Setiap individu mempunyai latar belakang sejarah, konstruksi ide, sampai minat dan kepentingan yang bisa berbeda-beda dalam mengahadapi konflik agama. Pengetahuan konflik agama sebagai realitas objektif dan realitas subjektif terus menerus berhubungan secara dialektis.

Realitas pluralisme konstruksi sosial dalam masyarakat menumbuhkan persaingan untuk berebut pengaruh dan menjadi konstruksi dominan. Gilirannya, fenomena kekuasaan ikut terlibat, dari sinilah kemudian fenomena ideologi muncul. Menurut Berger, ketika suatu definisi tertentu mengenai kenyataan pada akhirnya dikaitkan dengan suatu kepentingan kekuasaan yang kongkrit, ia bisa dinamakan ideologi. Pengetahuan konflik agama yang turun dalam bentuk yang antagonis, bersifat doktrin, merupakan bentuk pengetahuan yang dibentuk oleh kekuasaan dalam masyarakat.

Dalam perspektif Berger, kekuasaan mempunyai peranan penting dalam kehidupan sosial. Sehingga menurutnya, kekuasaan dalam masyarakat mencakup kekuasaan untuk menetapkan proses-proses sosialisasi yang sifatnya menentukan dan, dengan demikian, kekuasaan untuk membuat kenyataan. Jelasnya, benar dan salah, baik dan buruk, menjadi wewenang kekuasaan dalam menentukannya.

Berkaitan dengan fenomena ideologi maka bisa dikatakan bahwa ia tidak semata-semata merupakan sebuah konstruksi sosial yang berada dalam ruang yang kosong politik. Seperti pendapat Mannheim bahwa ideologi adalah bentuk pengetahuan yang sudah terkontaminasi keinginan-keinginan subjektif, yaitu hasrat politik. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ideologi merupakan sebuah konstruksi sosial politik; sebuah konstruksi sosial yang kehadirannya berkaitan dengan kepentingan-kepentingan kekuasaan dan penguasaan. Konflik Agama dan pengetahuan tentangnya akhirnya dijadikan ideologi, dalam bentuknya yang antagonis, seperti permusuhan abadi, keburukan tindakan “mereka” di luar “kita”, untuk kepentingan yang tidak selalu terbaca oleh masyarakat awam.

Konflik antara komunitas-komunitas agama di Ambon Maluku adalah sebagai hasil pengetahuan konflik agama dalam setiap komunitas sosial, Islam dan Kristen, dalam mengarahkan tindakan mereka menghadapi dunia sosial. Konflik agama itu melibatkan proses sosial yang dialektis antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat, yang menyertakan fenomena ekonomi dan politik, sebagai konstruksi sosial.



  1. Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan

Tentang pengetahuan, Berger, banyak mengambil dari pemikiran fenomenologi Alfred Schutz. Pemikiran sosiologi fenomenologi Schutz menjelaskan tiga unsur pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat yaitu dunia sehari-hari, Sosialitas dan makna. Dunia sehari-hari sebagai dunia yang paling fundamental dan dunia terpenting bagi manusia. Dia menjadi orde tingkat satu (the first order of reality), yang sekaligus menjadi sumber dan dasar bagi pembentukan orde-orde selanjutnya. Kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagi kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia dan mempunyai makna subjektif bagi mereka sebagai satu dunia yang koheren.

Sosialitas mengacu pada teori Max Weber mengenai tindakan sosial (social action, soziales handeln). Tindakan sosial yang terjadi setiap hari adalah proses dimana terbentuk berbagai makna. Ada dua fase pembentukan tindakan sosial. Pertama kali tindakan yang diorientasikan pada benda fisik sehingga belum menjadi tindakan sosial, setelah tindakan itu mengorientasikan pada orang dan mendapatkan makna subjektif pada saat itulah terbentuk tindakan sosial.

Makna dan pembentukan makna merupakan sumbangan Schutz yang penting dan orisinal kepada gagasan fenomenologi tentang makna dan bagaimana makna membentuk struktur sosial. Kalau orde dasar bagi masyarakat adalah dunia sehari-hari maka makna dasar bagi pengertian manusia adalah common sense, yang terbentuk dalam bahasa percakapan sehari-hari. Common sense didefinisikan sebagai pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasa yang sadar. Pengetahuan ini sebagian besar tidak berasal dari penemuan sendiri, tetapi diturunkan secara sosial dari orang-orang sebelumnya. Bahasa ibu misalnya adalah sebuah khasanah pengetahuan pertama bagi setiap orang yang telah dipelajari dan diterimanya begitu saja, tanpa orang mengetes kebenarannya secara sadar.

Common sense terbentuk melalui tipifikasi yaitu penyusunan dan pembentukan tipe-tipe pengertian dan tingkah laku untuk memudahkan pengertian dan tindakan. Tipifikasi ini tidak hanya menyangkut pandangan dan tingkah laku, tetapi menyangkut juga pembentukan makna. Hal ini terjadi karena orang-orang yang terlibat dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian membangun semacam sistem relevansi bersama, dengan melepaskan dari tiap individu atau tiap peristiwa hal-hal yang bersifat individual untuk merujuk satu atau beberapa ciri yang sama yang dianggap relevan.

Penggolongan makna kedalam berbagai tipe kemudian menghasilkan apa yang oleh Schutz dinamakan daerah makna yang terbatas (the finite province of meaning). Suatu daerah makna berbeda dengan daerah makna yang lain karena masing-masing memiliki gaya kognitif (cognitive style) yang berbeda dengan memberi tekanan yang berbeda kepada kenyataan (the accent of reality). Tekanan khusus kepada realitas yang terjadi dalam tiap daerah makna hanya dapat terjadi kalau di sana juga terjadi ephoce, yaitu menghilangkan keragu-raguan mengenai segi-segi tertentu dari kenyataan itu, sekurang-kurangnya buat sementara waktu.

Pengetahuan tidak begitu saja tampil tanpa terlibatnya lembaga sosial yang memegang kunci kekuasaan. Berger melihat negara adalah sebagai lembaga terbesar yang mampu menentukan kenyataan bagi individu-individu dan menentukan eksternalisasi dalam dunia sosial. Negara dan kekuasaan yang dimilikinya menghendaki struktur sosial yang sesuai dengan kepentingannya. Aturan-aturan diciptakan dan dipaksakan sebagai pengetahuan dalam masyarakat, sehingga terbentuklah kenyataan sosial yang dikehendaki. Proses ini merupakan social enginering dengan turunnya dominasi kekuasaan dalam kehidupan sosial. Ketika negara dalam frekwensi tertentu mengurangi, atau terpaksa mengurangi karena faktor tertentu, dominasinya dalam menetukan kenyataan, konstruksi sosial akan melibatkan peran kelompok-kelompokl sosial lainnya yang memiliki kepentingan dalam menentukan kenyataan.

Keterkaitan antara pengetahuan dan kepentingan, menyebabkan munculnya fenomena ideologi. Karena kepentingan memiliki sifat subjektif, dan bagi Mannheim menyebabkan pengetahuan tidak lagi bersifat universal, maka pengetahuan yang telah dikendalikan kepentingan menjadi ideologi. Pengertian ideologi dalam pemahaman Berger adalah suatu dunia arti simbolik yang universal, yang merupakan pandangan hidup masyarakat. Fungsinya adalah untuk memberikan legitimasi pada konstruksi sosial yang sudah ada serta memberikan makna pada pelbagai bidang pengalaman mereka sehari-hari.

Legitimasi melibatkan pengertian kognitif, yang berarti penjelasan terhadap kenyataan, dan unsur normatif yang bersifat membenarkan. Artinya tindakan yang muncul dalam konteks sosial tertentu telah mendapatkan penjelasan dan pembenaran dari lembaga-lembaga sosial melalui ideologi, dan tindakan tersebut merupakan kenyataan bagi individu. Proses itu memperlihatkan kepentingan yang ada dalam pengetahuan.

Jurgen Habermas memberikan pernyataan bahwa pengetahuan selalu berkaitan dengan kepentingan. Menurut Habermas, upaya memisahkan pengetahuan dari kepentingan sebenarnya hanya bersifat semu dan palsu, bahkan menjadi alat terselubung bagi suatu kepentingan tersendiri. Bentuk pengetahuan adalah bentuk kepentingan dari mana pengetahuan itu muncul. Common sense sebagai pengetahuan pertama pun tidak lepas dari kepentingan dan dominasi keluarga atau orang-orang sebelumnya.

Habermas dalam rumusan filosofisnya membenarkan bahwa pengetahuan selalu terhubung dengan kepentingan, antara teori dan praksis tidak dapat dipisahkan. Menurut Habermas analisis empiris-analitis mempunyai kepentingan praktis, analisis teori historis hermeunitis mempunyai kepentingan komunikatif, dan teori kritis mempunyai kepentingan emansipatoris. Antara teori dan praksis sosial tidak dapat dipisahkan karena di dalam setiap pengetahuan akan selalu ditemukan kepentingan dari pengetahuan itu sendiri.

Pengetahuan dan kepentigan membentuk makna dalam interaksi sosial, dan tindakan yang dapat muncul dalam jaringan makna dalam dunia sosial. Pemaknaan adalah realitas terbatasnya individu dan kelompok-kelompok sosial di dalam wilayah pengetahuan dan kepentingan mereka. Dalam fenomenologi mereka memiliki daerah makna sendiri-sendiri, dan oleh sebab itu, struktur sosial dan dunia kehidupan itu terus bergerak sejauh pemaknaan dan kepentingan-kepentingan memperjuangkan dirinya secara subyektif.



  1. Agama, Pengetahuan, dan Konflik Agama

Agama telah memperoleh kajian dari sosiologi agama yang mengupayakan pemahaman relasi agama dan masyarakat. Bagaimana agama memperlakukan dan diperlakukan masyarakat, pengaruh agama dalam membangun struktur sosial, budaya, dan konflik yang muncul karenanya. Sosiologi agama membedakan dirinya dari pengertian para teolog dalam menjelaskan persoalan dan jawaban agama, walaupun pada dasarnya sosiologi agama sangat bermanfaat bagi para ahli teologi.

Sosiologi agama tidak memberikan penjelasan tentang benar dan salah, kebenaran Tuhan, aturan yang harus dijalankan, sebagaimana para teolog menjelaskannya. Sosiologi dalam mengkaji fenomena agama bertugas mencari hubungan yang muncul dari adanya agama dalam masyarakat dan sebaliknya. Seorang sosiolog tidak hanya mengkaji persoalan agama yang dianutnya tetapi ia mengambil agama-agama di luar dirinya dan membahasnya secara sosiologis. kajian terhadap agama sendiri memang cukup beragam, seperti kajian agama Emile durkheim, Max Weber, Karl Marx, sampai kemudian para tokoh sosiologi modern seperti Peter L. Berger, Thomams Luckmann, Yinger, Gregory Baum, dan lainnya.

Studi ini akan banyak menarik bantuan dari kajian sosiologi agama terutama dalam upaya menemukan pemahaman agama dalam hubungan timbal balik dengan masyarakat. Bagaimana masyarakat mendefinisikan agama, menafsirkannya, dan mengolah pengalaman dalam hidupnya dalam hubungannya dengan agama. Sosiologi agama bertugas memahami makna yang diberikan oleh masyarakat tertentu terhadap sistem agamanya sendiri dan berbagai antar hubungan agama tersebut .

Salah satu pembahasan terhadap agama dilakukan sosiologi pengetahuan, oleh Peter L Berger, dalam bukunya The Sacret Canopy dan The Social Reality of Religion, dan Thomas Luckman dalam ukunya The Invisble Religion. Berger memberikan pemahaman bahwa ada pengaruh timbal balik antar berbagai sistem makna, yang mencakup juga berbagai sistem agama, dan pengalaman sosial maupun perorangan yang dicoba tafsirkan oleh manusia berdasarkan sistem-sistem semacam itu.

Sistem makna sendiri merupakan produk sosial, bukan perorangan, yakni produk semua orang yang hidup dalam hubungan bersama satu sama lain pada suatu saat, dan juga merupakan produk nenek moyang mereka. Agama dalam dunia sosial adalah sistem makna yang tidak hanya merupakan kebenaran firman Tuhan (norrmatif), yaitu realitas transendental, tetapi ia pun adalah realitas historis yang tidak lepas dari bagaimana masyarakat manusia memilikinya dan menggunakannya dalam setiap konteks sosial tertentu. Sebagai realitas historis agama tidak lepas dari kesejarahan manusia dan kehidupannya yang berada dalam ruang dan waktu.

Pengalaman yang membentuk pengetahuan dalam setiap individu dan secara sosial dikonstruksikan sebagai cadangan pengetahuan bersama, dengan cadangan pengetahuan itulah kemudian lingkungan sosial diperlakukan. Pengetahuan setiap komunitas agama dalam dunia sehari-hari dibentuk oleh pengalaman interaksi diantara mereka. Interaksi antar komunitas agama, antara individu dalam suatu rentang ruang dan waktu, menghasilkan pengalaman dan pengetahuan yang spesifik. Seperti dalam pandangan Gofmann bahwa manusia masuk dalam situasi tatap muka, face to face, sebagai interaksi yang melibatkan penafsiran diantara mereka yang terlibat dengan pengalaman sebelumnya dan menciptakan pengalaman baru yang pada saat-saat tertentu merupakan pengalaman yang unik dan berpengaruh.

Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik spesifik. Kumpulan-kumpulan spesifik dari kenyataan dan pengetahuan berkaitan dengan konteks-konteks sosial yang spesifik, hal ini karena adanya fakta relativitas sosial. Pengalaman hidup dan agama membangun sistem makna yang menaungi pikiran individu-individu manusia. Makna yang muncul dari pengetahuan yang sudah mapan, sebagai cadangan pengetahuan, banyak menentukan bagaimana sikap dan tindakan itu muncul dalam dunia sehari-hari.

Pengetahuan komunitas-komunitas agama tentang orang lain, tentang tindakan orang lain, menciptakan makna yang saling berhubungan antara anggota-anggotanya dan membentuk sistem makna yang secara determinan memberikan perlakuan terhadap orang lain dalam interaksi tatap muka maupun tak langsung. Pengalaman para nenek moyang setiap komunitas agama yang telah diwariskan sebagai pengetahuan, dimana fenomen-feneomen itu nyata dan bersifat spsifik, menentukan apakah interaksi akan berjalan dengan lancar atau tidak.

Fenomena konflik antar komunitas agama merupakan gejala adanya interaksi antar pengetahuan dan kepentingan yang plural. Usaha saling mendominasi realitas sosial yang dilakukan melalui interaksi sehari-hari muncul dalam bentuk pembelaan, pembenaran, dan penggalian pengalaman komunitas agama masing-masing. Pada saat itulah masyarakat menentukan tindakan mereka dalam konflik agama dengan alasan yang ada dalam kepala masing-masing.

  1. Elit Kekuasaan, Kepentingan, dan Konflik Sosial

Berger menunjuk negara sebagai lembaga kekuasaan yang paling besar dalam menentukan eksternalisasi individu-individu, yaitu tindakan penyesuaian diri kedalam dunia sosikultural yang muncul kedalam tindakan-tindakan tertentu. Namun negara sendiri, bagi Marx, adalah representasi sekumpulan kelas swasta yang mendominasi modal. Negara adalah organisasi politik yang diperebutkan sebagai alat untuk memiliki sumber daya langka, ekonomi dan politik, oleh kelompok-kelompok politik, atau kelompok-kelompok satrategis dalam istilah Hans Dieters-Ever, dalam masyarakat. Setiap kelompok memiliki tokoh-tokoh penting yang berpengaruh dan memiliki kekuasaan dalam mengarahkan tindakan individu-individu, mereka adalah para elit kekuasaan yang sering membangun opini publik dalam proses perjuangan kepentingan mereka.

Charles. W. Mills mempunyai pengertian bahwa elit kekuasaan dikomposisikan dari orang-orang yang memungkinkan mereka melebihi lingkungan biasa dari orang-orang biasa, laki-laki atau perempuan; mereka ada di posisi pembuatan keputusan yang memiliki konsekuensi besar. Mereka menempati posisi pimpinan strategis dari struktur sosial, seperti pimpinan partai politik atau keagamaan, dimana dipusatkan alat-alat efektif dari kekuasaan dan kekayaan dan kemasyuran dimana mereka menikmatinya.

Elit kekuasan bukan penguasa negara. Mereka adalah para politisi profesional dari level menengah kekuasaan, dalam kongres (legislatif; MPR/DPR untuk Indonesia) dan dalam kelompok-kelompok penekan, sama halnya diantara golongan kelas baru dan lama kota atau wilayah. Posisi penting mereka dalam mempengaruhi opini publik dan mengarahkan tindakan sosial massa merupakan keahlian yang dimiliki karena tingkat pengetahuan dan kepemilikan mereka terhadap alat-alat kekuasaan, seperti usaha ekonomi, politik dan militer. Secara empiris elit dalam masyarakat Ambon pun telibat dalam bidang-bidang itu, militer, ekonomi, dan politik keagamaan. Para elit yang berpengaruh di Ambon, lokal dan nasional, secara teoritis dan empiris memperlihatkan kemampuan dan peran mereka dalam mengarahkan situasi.

Pada dasarnya elit kekuasaan tidak melepaskan kegiatan dan tindakannya dari kepentingan-kepentinganya. Studi Mills di Amerika tentang elit yang mendominasi melalui militer, ekonomi, dan wilayah politik atau partai politik mempunyai kesempatan yang besar dan kemampuan meningkatkan posisinya, sebagai orang-orang yang terpandang dalam publik. Privilege mereka dalam struktur masyarakat adalah karena faktor-faktor penguasaan mereka terhadap kekayaan, politik, dan juga militer. Kepentingan para elit dalam memperoleh dan memperkuat posisinya tidak cukup hanya menjadi perjuangan dalam rapat-rapat kongres tetapi mereka menghendaki adanya dukungan dan situasi yang menguntungkan mereka. Dukungan itu adalah masyarakat yang mereka kendalikan dengan kekuatan mereka, secara ekonomi mapun pengaruh sosial.

Tokoh-tokoh sebelum Mills, seperti Vilvedro Pareto, Gaetano Mosca (1859-1941), dan Robert Michels (1876-1936), memberikan argumentasi bahwa hanya sebagian kecil orang dalam organisasi dapat memegang wewenang, dan kedudukan posisi-posisi ini secara otomatis menempatkan mereka pada perselisihan. Elit yang dalam kontrol biasanya berbagi budaya umum, dan mereka diorganisir, tidak perlu formal, tetapi mereka melakukan tindakan bersama mempertahankan posisi mereka, bersama dengan penggunaan ini pada keuntungan individu mereka sendiri. Pada saat seperti itulah biasanya terjadi tarik menarik antara massa pendukung para elit. Lain kata, teori elit menjelaskan secara eksplisit argumen bahwa kepentingan pribadi orang-orang dan kekuatan intrinsik yang tak sama membuat konflik yang tak terhindarkan dan permanen.