Senin, 07 Januari 2008

Indonesia Perlu Bangun Ingatan Kolektif

Indonesia Perlu Bangun Ingatan Kolektif

Usaha pemerintah Orde Baru untuk membangun ingatan kolektif memang dibutuhkan bagi sebuah bangsa. Hanya saja, ingatan kolektif yang terkait dengan pemberontakan G30S, seperti yang dibangun rezim Orde Baru dalam bentuk pemutaran film setiap tahun, justru melahirkan banyak dendam dan ketakutan.

"Implikasinya, ingatan kolektif yang dibangun dengan penuh dendam ini hanya akan melahirkan masalah yang lebih besar bagi penyelesaian berbagai persoalan kebangsaan," kata Katinka van Heeren dan Universitas Leiden dalam sesi Indonesian Mediations: The re-imagining and re-imaging of Community in Transition dalam "The 3rd International Conference and Workshop 2003 Indonesia in Transition" yang berlangsung di Kampus Universitas Indonesia, Depok, Rabu (27/8).

"Problem muncul melalui pengulangan film Pengkhianatan G30S PKI dan Serangan Umum setiap tahun untuk memperkuat legitimasi kekuasaan Orde Baru. Pengulangan tersebut memang bertujuan untuk memperkuat legitimasi, dan itu dilakukan dengan membangun ingatan kolektif yang pernah terjadi dalam perjalanan sejarah bangsa yang menakutkan serta masih menyimpan ketidakjelasan sejarah," ujarnya.

Ingatan kolektif seperti itu, menurut Katinka, memang mulai hancur seiring dengan reformasi yang bergulir di Indonesia mulai tahun 1997. Dan, saat ini, pemerintah sendiri belum selesai membangun ingatan kolektif baru yang dibutuhkan bagi sebuah bangsa untuk maju dan bertahan sebagai nation- state.

"Meskipun ada yang berusaha membangun ingatan kolektif baru melalui kasus Trisakti, namun prosesnya masih terus berlangsung," katanya.

Secara terpisah, sosiolog yang sekarang menjabat sebagai Manajer Program Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia, Hanneman Samuel, menilai, bangsa masih bingung dengan ingatan kolektif mana yang hendak dipertahankan. Di satu sisi ada ketakutan yang luar biasa jika peran negara menjadi sangat kuat. Di sisi lain ada juga keinginan agar negara ini kuat sehingga pemerintah bisa menjalankan fungsinya dengan baik.

Menurut Hanneman, ingatan kolektif itu seharusnya bukan barang statis. Sebagai sebuah konstruksi sosial, ingatan kolektif itu harus selalu dibangun untuk kepentingan kebangsaan dan disesuaikan dengan geopolitik nasional. Namun, bukan berarti ingatan kolektif itu dimanfaatkan untuk kepentingan legitimasi kekuasaan seperti yang dilakukan selama pemerintahan Orde Baru.

"Suka atau tidak, dalam membangun ingatan kolektif yang produktif untuk kebangsaan jangan dilakukan dengan mengabaikan begitu saja sejarah masa silam. Namun, masa silam itu bukan untuk memupuk dendam, tetapi menjadi modal rekonsiliasi bangsa," ujarnya.

Untuk melakukan rekonsiliasi bangsa, seluruh stakeholders bangsa ini harus mampu membangun komitmen kebangsaan. Komitmen ini antara lain dibuat dengan menghilangkan mental diri sebagai korban.

"Mental sebagai korban inilah yang sering kali menyulitkan usaha rekonsiliasi. Pasalnya, mereka hanya akan memupuk dendam dan keinginan untuk membalas perlakuan yang pernah diterimanya pada generasi sebelumnya," katanya.

Persoalan lain, menurut Hanneman, usaha membangun ingatan kolektif bangsa ini harus juga memperhatikan persoalan extra-state. Pasalnya, perdebatan nation-state selama ini lebih banyak terjebak pada perdebatan antara unsur state dan civil society.

"Mereka tampaknya melupakan unsur ketiga, yaitu extra- state, yang terkadang bisa bertindak seperti negara meskipun bukan negara. Mereka ini antara lain berwujud pada lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan perusahaan multinasional," ujarnya.

Saat ini, Hanneman melihat, pengaruh extra-state seperti ini juga sering mempengaruhi proses pembentukan ingatan kolektif itu. Apalagi dalam konteks negara yang sedang berkembang, mereka tampaknya justru membimbing ingatan kolektif agar mendukung kepentingan extra-state ini, bukan pada kebangsaan suatu negara. (MAM)

Ingatan Kolektif Masyarakat Bangsa

Oleh Frans Seda

MENURUT pengalaman, yang juga diakui oleh sementara ahli ilmu politik dan sosiologi, suatu masyarakat bangsa sebagai suatu komunitas politik memiliki apa yang dinamakan collective memory (ingatan kolektif). Seperti memiliki, yang sering terkait dengan itu, apa yang dinamakan collective consciousness (kesadaran nurani kolektif).

Contoh yang paling sering dibicarakan dalam rangka collective memory dan collective consciousness adalah adat istiadat suku-suku bangsa. Hukum adat tidak ada yang tertulis dan terumus secara undang-undang, tetapi ditanam/dipatrikan dalam ingatan kolektif dan diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi sebagai suatu collective consciousness. Hukumnya lebih ketat, berdisiplin dengan law enforcement yang lebih efektif daripada hukum tertulis, termasuk UUD yang dimiliki masyarakat bangsa.

Perayaan peringatan Proklamasi 17 Agustus 1945 yang dilakukan setiap tahun dapat pula dikatakan sebagai ekspresi ingatan kolektif itu.

Apa yang diingat oleh masyarakat bangsa dari Proklamasi?

Pertama, kebahagiaan menjadi suatu bangsa yang merdeka dengan kehidupan kebangsaan, suatu negara dan pemerintahan sendiri yang bebas dan berdaulat.

Seperti dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 (yang tidak boleh diubah itu, dan yang terus-menerus menghidupkan ingatan kolektif kita)… saya kutip: ... "Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang bahagia…" dan seterusnya.

Kedua, kemerdekaan dan kebahagiaan yang diperoleh adalah hasil perjuangan. Kemerdekaan, kehidupan kebangsaan, negara pemerintahan yang bebas dan berdaulat bukan hadiah dari penjajah atau dari golongan/pemimpin bangsa manapun/siapa pun, namun hasil perjuangan/perasan keringat/pengorbanan jiwa dan raga dari seluruh komponen dan jenjangan bangsa di seluruh Tanah Air. Perjuangan bersama dan dalam kebersamaan itulah yang hidup dalam ingatan kolektif bangsa ini, dalam memperingati Proklamasi 17 Agustus 1945, setiap tanggal 17 Agustus. Jika benar masa depan ditentukan oleh masa kini dan masa kini oleh masa lalu, maka ingatan kolektif itu perlu pula menentukan visi, misi, dan program kerja kita sebagai bangsa ke depan, yakni rasa bahagia perjuangan bersama seluruh bangsa.

Dan pemimpin yang mampu mengobarkan kembali ke depan kebahagiaan dan kebersamaan perjuanganlah yang layak menjadi pemimpin bangsa nanti.

ADA pula hal yang perlu diperhatikan dari perjuangan bangsa di masa lalu yang merupakan unsur ingatan kolektif bahwa yang berjuang itu adalah rakyat miskin yang pendapatannya rata-rata 50 dollar AS/tahun, dan para pengungsi yang terkumpul di Yogyakarta dan sekitarnya sehingga penjajah Belanda menjuluki para pejuang RI sebagai barisan orang miskin dan pengangguran (dan mulailah penjajah Belanda menawarkan aneka perbaikan nasib/pendapatan dan pekerjaan serta pendidikan untuk "menggembosi" RI dari dalam! Namun tidak berhasil! Mereka lupa, pejuang yang miskin, menganggur, dan perut keroncongan itu punya idealisme tinggi).

Selain kemiskinan dan pengangguran, bagi rakyat kecil suatu yang dihadapinya ialah pilihan antara merdeka atau mati. Rakyat memilih merdeka, maka gugurlah mereka di medan juang.

Apa artinya ini ke depan? Bahwa masalah kemiskinan dan pengangguran itu penting diatasi segera. Namun, ada pula pilihan-pilihan eksistensial yang dihadapi bangsa ini ke depan ialah:

Pertama, tetap satu bangsa yang utuh bersatu atau bubar! Kedua, tetap satu negara kebangsaan yang berdasar Pancasila atau bubar! Ketiga, tetap Negara Kesatuan RI yang berkedaulatan rakyat atau bubar! Keempat, tetap Pancasila sebagai dasar falsafah negara, dan ikatan moril serta esensial kita sebagai bangsa dan negara yang bersatu dan yang satu atau bubar! Inilah pilihan-pilihan kita dalam lima tahun ke depan.

Terorisme, separatisme, pertentangan-pertentangan bersenjata antargolongan masyarakat bangsa, serta situasi kondisi nasional dan internasional yang tidak menentu, mendorong kita ke pilihan-pilihan eksistensial itu!

Dikatakan, ke depan dan menghadapi pilihan-pilihan itu kita memerlukan pemimpin yang kuat! Dalam ingatan kolektif bangsa, di masa lalu kita memiliki pemimpin-pemimpin kuat seperti Bung Karno dan Jenderal (Purn) Seoharto. Pertanyaannya, mengapa kedua-duanya menjadi otokrat, otoriter, dan menjurus ke arah kediktatoran? (Bung Karno harus dikoreksi dengan Orde Baru, dan Soeharto diralat dengan Reformasi). Penyebabnya tak lain-dan ini yang hidup dalam ingatan kolektif bangsa-orang- orang kuat itu berkuasa dalam sistem politik, ekonomi, dan sosial yang lemah.

Karena itu, untuk tidak mengulangi sejarah (l’historie ne se repète pas) diperlukan suatu system building ke depan yang kuat, baik sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial, dan sistem keamanan berdasarkan kerakyatan yang adil merata!

Dalam rangka system building yang kuat dan untuk mengatasi aneka masalah ekonomi yang mendesak dikaitkan pilihan-pilihan eksistensial yang dialami bangsa ini seperti yang telah diuraikan di muka dan berdasar collective memory, maka dalam menyusun visi, misi, dan program kerja ke depan diperlukan kerangka berpikir (framework of thinking) yang sekaligus merupakan kerangka pendekatan dan penyelesaian masalah.

Pertama, masalah pengangguran, kemiskinan, dan ekonomi mikro amat tergantung pada penyelesaian-penyelesaian masalah-masalah ekonomi makro seperti masalah stabilitas ekonomi makro. Sebaliknya masalah stabilitas ekonomi makro sendiri pada gilirannya hanya dapat berkelanjutan jika masalah-masalah kemiskinan, pengangguran, dan ekonomi mikro diselesaikan.

Kedua, jika dikaitkan dengan pilihan-pilihan eksistensial itu, maka perlu dipahami bahwa masalah-masalah ekonomi (makro, mikro, pengangguran, dan kemiskinan) amat terkait dan tergantung pada penyelesaian masalah-masalah non-ekonomi. Sebaliknya, masalah-masalah non-ekonomi (seperti diuraikan dalam pilihan-pilihan eksistensial itu) hanya dapat diatasi secara berkelanjutan jika masalah-masalah ekonomi juga dapat diselesaikan.

KEMERDEKAAN kita adalah hasil suatu perjuangan berdarah: yang telah menghasilkan tulang-belulang yang berserakan, bukan saja antara Jakarta dan Bekasi tetapi juga antara pulau-pulau di seluruh Nusantara. Siasat perjuangan kemerdekaan kita antara lain adalah Bumi Hangus. Dan kita telah membumihanguskan semua sistem (administrasi, penyelenggaraan pemerintahan, dan disiplin) yang diwariskan Belanda, dan menganggap kita sanggup menciptakan sistem kebangsaan sendiri. Ternyata setelah 59 tahun merdeka kita belum menemukan suatu sistem yang baku dalam mengatur kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang bebas dan berdasar kedaulatan rakyat.

Dalam hal "bumi hangus" kita berbeda dengan negara-negara bekas jajahan Inggris. Mereka mendapat kemerdekaan tanpa perang dan memelihara sistem Inggris seutuhnya. Karena itu di sana-sini krisis ekonomi dapat di-contain (juga di Thailand dan Korea Selatan, di mana sistem politik, ekonomi, dan sosial telah terkendalikan dan dihayati rakyatnya). Di Indonesia, karena tidak/belum ada sistem, maka krisis ekonomi merambat ke mana-mana menjadi krisis multidimensi.

Ada yang mengatakan, yang kita perlukan ke depan adalah perubahan. Perubahan tanpa sistem adalah coba-coba. Salah satu penyebab kemiskinan dan pengangguran dewasa ini adalah karena kita terus mencoba-coba dan menganggap coba-coba itu sebagai perubahan dan pembaruan.

Perlu diperhatikan aneka pengalaman hidup tentang perubahan/pembaruan dan perbaikan. Tidak semua perubahan/pembaruan membawa perbaikan. Tidak semua perbaikan memerlukan perubahan/pembaruan.

Yang pertama merujuk pada pengalaman silih bergantinya aneka kebijakan pemerintah/para menteri. Secara subyektif perubahan/pembaruan kebijakan-kebijakan itu dimaksudkan demi perbaikan! Tetapi nyatanya, membingungkan dan membuat aneka kebijakan pemerintah unpredictable bagi dunia usaha (antara lain karena perubahan/perbaikan yang dimaksudkan tidak didasarkan pada system thinking dan system building).

Yang kedua: tidak semua perbaikan memerlukan perubahan. Ini merujuk pada hal, Indonesia pandai dalam merumuskan kebijakan-kebijakan nothing wrong with policies, tetapi implementasinya amburadul dan lemah. Dalam hal ini diperlukan perbaikan (dari implementasi) tanpa perubahan (dari kebijakan).

Kita harus hati-hati terhadap ingatan kolektif sebagai masyarakat bangsa.

Selamat 17 Agustus 2004!

Tidak ada komentar: