Selasa, 15 Januari 2008

flores

Nama : Adi Damaryanto

Nim : 06413244032

Prodi : Pend Sosiologi

KEBUDAYAAN FLORES

A. Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat

Secara umum mayoritas warga masyarakat Sumba Barat hidup di daerah pedesaan. Hubungan kemasyarakatan bercorak kebersamaan dan bertumpu pada ikatan kekerabatan. Hubungan interpersonal lebih menonjol dibandingkan hubungan fungsional. Nilai kebersamaan tersebut mengandung energi sosial budaya kreatif dalam artian ada dorongan kuat untuk mewujudkan gagasan bersama demi kesejahteraan bersama yang dalam prosesnya ditempuh dengan mengembangkan dinamika persaudaraan antara para pelakunya. Hal ini tampak dalam empat aspek yang saling berkaitan, yaitu kekerabatan, kerjasama di luar keluarga dan kekerabatan, sistem kesejahteraan ketahanan masyarakat asli dan kepemimpinan lokal.

Dalam perkembangan akhir-akhir ini nampak kebersamaaan yang ideal tersebut di atas kurang berkembang sebagai sebuah dinamika kehidupan yang saling mengembangkan diri baik antar individu maupun antar kelompok. Pengalaman pembangunan selama ini memperlihatkan pemasungan prakarsa dan kreativitas individu maupun kelompok untuk berperan serta dalam pembangunan. Keputusan-keputusan pembangunan lebih banyak ditentukan oleh para pengambil keputusan di tingkat atas dan keputusan pembangunan yang menyangkut kepentingan masyarakat didominasi oleh pengambil keputusan di tingkat atas tanpa melibatkan lembaga swadaya masyarakat, lembaga keagamaan, lembaga adat dan organisasi kemasyarakatan lainnya yang mempunyai andil dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Hal ini menjadikan masyarakat tidak terlibat secara aktif dan tidak merasa memiliki karena tidak sesuai dengan aspirasi dalam kebutuhan nyata mereka. Sebagai konsekuensi lebih lanjut, kemampuan organisasi dalam masyarakat melemah sedangkan posisi organisasi formal pemerintahan desa dan kelurahan makin menonjol dengan kepemimpinan bercorak direktif.

Dari segi ekonomi, struktur ekonomi Sumba Barat berbasis pertanian dalam arti luas yang mencakup tanaman bahan makanan, perkebunan rakyat, peternakan, kehutanan dan perikanan. Hal ini menjadikan pertanian sebagai penyumbang terbesar pada PDRB Kabupaten Sumba Barat sebesar 67%. Usaha pertanian yang dilakukan terutama bercorak pertanian primer yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari (Propeda Kabupaten Sumba Barat 2001-2005).

B. Agama dan Kepercayaan Masyarakat Laboya

Di Indonesia, hingga sekarang ada beberapa agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah atau Negara Republik Indonesia. Agama-agama itu adalah Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu Budha dan Konfuchu. Selain itu diakui aliran-aliran kepercayaan sepanjang tidak bertentangan dengan Dasar Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Ditinjau dari sejarah, Agama Kristenlah yang masuk pertama di Sumba yang disebarkan oleh penginjil Belanda pertama yaitu Pendeta J.J. Van Alpheut. Dia tiba di Waingapu Sumba Timur pada tanggal 9 Juni 1881, tetapi baru 10 (sepuluh) tahun kemudian terjadi baptisan pertama seorang penduduk asli Suku Sumba. Artinya pada tahun 1891 baru penduduk asli Sumba menerima Agama Kristen. Dalam perkembangan berikutnya baru masuk agama-agama yang lainnya.

Bagi Suku Sumba, agama asli yang diyakini turun temurun adalah Agama Marapu . Agama Marapu merupakan agama yang sudah lama ada turun temurun sebelum agama-agama yang lain disebarkan di Sumba. Karena faktor keterikatan inilah, hingga sekarang Agama Marapu masih diyakini sebagian masyarakat Sumba termasuk masyarakat Lamboya.

Harun Hadiwijono dalam bukunya yang berjudul Religi Suku Murba di Indonesia, 1977 dan Cf. Kaleideskop Gereja Katolik di Sumba-Sumbawa 1889-1989 (dalam Hans J. Daeng, 2000: 117-120) menyebutkan bahwa: “Kelompok-kelompok etnik di Pulau Sumba sering dijuluki sebagai masyarakat Marapu, mereka beragama Marapu. Namun sesungguhnya Marapu di kalangan tua-tua adat belum ada kata sepakat tentangnya. Menurut Harun Hadiwijono, Marapu adalah tokoh Ilahi yang di dalamnya termasuk alam gaib, baik dalam arti dewa maupun dalam arti roh, jiwa serta barang-barang duniawi yang menjadi tanda atau simbol kehadiran Marapu dan alam gaib tadi”.

C. Gambaran Umum Adat Istiadat “Pata Tana Laboya

Adat istiadat Pata Tana Laboya tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan masyarakat. Agama Marapu merupakan cikal bakal lahirnya nilai adat istiadat yang merupakan kearifan lokal Laboya yang menjadi obyek kajian dalam tulisan ini. Oleh karena itu berikut akan diuraikan beberapa upacara ritual adat dalam rangka penyembahan terhadap Marapu yang pada perkembangan berikutnya menjadi budaya, adat istiadat, kebiasaan atau pola perilaku etik dari masyarakat Laboya turun temurun. Adapun upacara adatnya yakni sebagai berikut:

a) Wulla Mangata (Bulan Januari)

Pada bulan ini di Laboya, tumbuh dan berkembang tumbuh-tumbuhan di padang atau di alam. Hal itu terjadi karena hujan yang turun pada bulan-bulan sebelumnya. Oleh karena itu “Rato” atau tokoh adat/pemangku adat mengadakan upacara ritual di hutan. Rato Welajung dan We Yelo (pemangku adat dari kampung Welajung dan We Yelo) yang mengadakan kegiatan ritual. Kegiatan yang dilakukan adalah Rato Welajung membawa persembahan di hutan Bodo Beru untuk memuja Marapu Rami atau penguasa hutan di tempat itu yang diberi nama “Kalele” yang berada di tengah hutan. Para Rato membawa satu ekor ayam sebagai persembahan bagi penghuni hutan. Upacara adat dilakukan dengan cara ayam dipotong dan darahnya dicurahkan di atas batu pipih di Kalele yang merupakan media persembahan. Dagingnya, nasi yang sudah matang dipersembahkan juga. Selain itu, disuguhkan sirih pinang di media yang sama sebagai ungkapan silaturahmi dengan arwah atau penghuni hutan. Sirih pinang dan kapur dalam adat istiadat Laboya merupakan sarana silaturahmi dalam hubungan sosiologis yang dilakukan turun temurun hingga sekarang.

Tujuan dilakukan upacara tersebut adalah agar Marapu Rami atau penjaga hutan menjaga, melindungi dan menyuburkan hutan yang berguna bagi kebutuhan manusia, hewan dan makhluk hidup lainnya.

b) Wulla Nyale Laboya (Bulan Pebruari)

Dalam bahasa Laboya Wulla berarti bulan dan Nyale adalah sejenis Lipan Laut kecil-kecil atau ada yang menyebut Cacing Laut. Nyale ini datang bergerombol setiap tahun di pinggir laut atau pesisir pantai hanya pada setiap Bulan Pebruari. Oleh karena itu bulan itu dinamakan “Wulla Nyale” atau bulan dimana Nyale atau Cacing Laut itu datang di pinggir Laut Laemadongara yang berada di Laboya.

Tujuan diadakan upacara penyambutan Nyale dipinggir Pantai Laemadongara adalah untuk memohon berkat pada Marapu Banu (Marapu Laut/Penguasa Laut). Larangannya tidak boleh memukul gong atau pesta, tidak boleh memotong kayu di hutan, tidak boleh membuat rumah baru serta tidak boleh mencemarkan pantai dan laut. Apabila melanggar larangan ini maka akan diproses secara adat dan dikenakan denda adat Karawa Rato yang sama dengan denda pada upacara hutan yang diadakan pada Wulla Mangata. Bedanya, hanya tempat pelaksanaan denda adat tidak dilakukan di pinggir Pantai Laemadongara tetapi di pusat Kampung Adat Laboya di Sadona di hadapan Rato-Rato Moripuna atau pemangku adat utama.

c) Wulla Nyale Gaura (Bulan Maret)

Upacara adat yang dilakukan pada bulan ini, sama dengan upacara yang dilakukan pada Wulla Nyale Laboya. Perbedaannya terletak pada tempat penyambutan dan penangkapan Nyale, yaitu di tempat lain yang merupakan bagian dari kecamatan Laboya yang bernama Gaura. Selain itu Rato (pemangku adat) juga berbeda yaitu berasal dari kampung induk yang bernama Ubu Oleta.

Oleh karena upacara yang dilakukan pada prinsipnya sama, maka tujuan, larangan, dan sanksi adat yang dikenakan juga sama dengan upacara penyambutan Nyale pada Wulla Nyale Laboya.

d) Wulla Nyale Ngihu (Bulan April)

Pada bulan ini, tanaman di ladang atau kebun sudah mulai berumbi dan menghijau daunnya.

Dari deskripsi di atas, dipahami bahwa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Laboya termasuk upacara adatnya sangat erat kaitannya bahkan sangat ditentukan oleh alam yang disesuaikan dengan beredarnya waktu dan musim.

Masyarakat melakukan kegiatan atau aktivitasnya tidak terlepas dari “hasil belajar” atau karena “pelajaran” yang didapatkan dari alam. Oleh karena itu manusia dalam beraktivitas tetap memperhatikan kelangsungan ekosistem dalam konteks ekologis secara keseluruhan.

D. Eksistensi Masyarakat Adat dan Adat Istiadat Pata Tana Laboya

  1. Dalam Realitasnya di Masyarakat Laboya

Dalam deskripsi tentang agama di Indonesia dan Agama Marapu di Sumba diketahui bahwa Agama Marapu merupakan agama asli suku Sumba yang sudah ada jauh sebelum agama-agama lain masuk. Hingga sekarang masih banyak masyarakat Sumba yang beragama Marapu dan terikat dengan upacara ritual adat. Pemeluk agama yang lain di luar Marapu kalau ditinjau secara historis adalah sebagian besar sebelumnya pemeluk Agama Marapu . Bahkan sebagian besar masyarakat Sumba termasuk Laboya orang tuanya masih percaya pada Agama Marapu sementara anak-anaknya beralih pada agama-agama yang lainnya.

Kalau digambarkan dari perspektif kepercayaan dan keterikatan serta sikap masyarakat Laboya terhadap adat istiadat sekarang maka masyarakat Laboya dapat digolongkan pada beberapa kelompok :

a. Sebagian masyarakat masih percaya Marapu dengan upacara adat serta perilakunya diwarnai nilai adat istiadat.

b. Sebagian lagi beragama Kristen atau beragama lain secara formal tetapi realitasnya masih terikat dengan adat dan perilakunya diwarnai adat istiadat.

c. Sebagian lain beragama Kristen, Katolik dan lain-lainnya tidak terikat dalam upacara ritual Agama Marapu tetapi perilakunya dipengaruhi nilai adat istiadat.

d. Sebagian kecil masyarakat pendatang yang tidak mengenal adat istiadat sehingga perilakunya tidak terikat dengan adat tetapi menghargai adat dan nilai adat istiadat masyarakat Laboya.

Pada uraian No. a di atas merupakan masyarakat adat asli yang konsisten menjaga dan percaya penuh pada Marapu dengan adat istiadatnya. Kampung adat Sodana, Ubu Oleta, dan Malisu beserta Rato-Rato (pemangku adatnya) dengan seluruh upacara ritual adat yang diuraikan sebelumnya masih tetap eksis dan dihormati.

Adat istiadat Pata Tana Laboya mempunyai pengaruh, hidup dan berkembang dalam masyarakat. Keberadaannya mewarnai pola perilaku masyarakat Laboya karena mempunyai nilai yang luhur, humanis, dan ekologis.

Larangan yang lahir dari upacara adat yang sudah menjadi adat istiadat atau perilaku masyarakat Laboya antara lain tidak boleh mengadakan pesta pada bulan-bulan yang dipemalikan, tidak menangkap ikan dan biota sungai serta tidak menebang kayu di hutan pada waktu larangan berlangsung, tidak mencemarkan mata air, pantai dan laut. Hal ini mewarnai sikap masyarakat Laboya.

Tidak ada komentar: